Baca juga: Baru 19 Persen Wilayah di Indonesia Memasuki Musim Kemarau
Pengasuh Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, Gus Roy Murtadho menyampaikan keprihatinan atas fenomena terkini, di mana agama kerap dijadikan tameng oleh pemilik modal. Dalam situasi demikian, pihak-pihak yang menyuarakan kritik terhadap kebijakan yang merusak lingkungan sering kali dituduh anti agama.
“Fenomena ini menunjukkan ironi dan penyimpangan dari nilai-nilai agama yang sejatinya berpihak pada keadilan dan keberlanjutan hidup,” tutur Gus Roy.
Sementara tokoh agama Kristen, Pendeta Johan Kristantara menawarkan refleksi teologis mengenai pertobatan ekologis. Ia menyatakan bahwa pertobatan ekologis harus berangkat dari pemahaman ekoteologi yang menolak pandangan antroposentris, bahwa manusia adalah pusat alam semesta.
Baca juga: KKP Larang Jual Beli Pulau, Tapi Boleh Dimanfaatkan Pemodal Luar dan Dalam Negeri
“Sebaliknya, manusia merupakan bagian dari alam yang hidup dalam rumah bersama,” ucap Johan.
Dengan demikian, manusia memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan ekologis dan berbagi kehidupan dengan seluruh makhluk. Lebih dari interfaith dialogues, diperlukan lebih banyak interfaith action sebagai wujud konkret pertobatan ekologis lintas agama.
Wakil Ketua LLH PB PP ‘Aisyiyah, Hening Parlan menyoroti pentingnya penggabungan dua sisi dalam gerakan penyelamatan lingkungan dan pembelaan terhadap rakyat. Di satu sisi, gerakan ini harus dilandasi kecintaan terhadap bumi dan generasi masa depan. Di sisi lain, juga harus mengandung semangat perlawanan terhadap ketidakadilan struktural. Ia menyebut bahwa gerakan ini tidak hanya bersifat eko-teologis, melainkan juga mengandung semangat eko-jihad.
Baca juga: Ada Temuan Tujuh Spesies Baru Lobster Air Tawar di Papua Barat
Sebagai penutup, Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, Didin Syafruddin memaparkan temuan riset PPIM UIN Jakarta yang menunjukkan ada kecenderungan pandangan apokaliptik di masyarakat.
“Pandangan ini membuat sebagian masyarakat memaklumi kerusakan lingkungan sebagai bagian dari “tanda-tanda kiamat” yang tak terhindarkan,” terang dia.
Selain itu, ia juga mencatat kecenderungan teologis yang antroposentris sebagai tantangan serius dalam upaya mengatasi deforestasi dan kerusakan lingkungan.
Baca juga: Ada Izin Tambang di Pulau Kecil Citlim di Kepulauan Riau
Surat bersama tokoh lintas agama
Di akhir diskusi, para tokoh lintas agama yang mengatasnamakan Jaringan Tokoh Lintas Agama untuk Keadilan dan Kelestarian ini menyusun surat pernyataan bersama yang disampaikan dalam siaran tertulis yang diterima Wanaloka.com, Rabu, 25 Juni 2025.
Bahwa tokoh-tokoh agama dari berbagai keyakinan di Indonesia ini menyatakan keprihatinan dan menolak pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang:
Pertama, mengakibatkan penggusuran masyarakat adat, nelayan, dan komunitas lokal dari tanah dan ruang hidupnya;
Baca juga: Hatma Suryatmojo, Berlakukan Moratorium Tambang di Kawasan Geopark, Pulau Kecil dan Hutan Lindung
Kedua, menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, deforestasi, dan memperparah krisis iklim;
Ketiga, mencederai nilai-nilai demokrasi dan partisipasi publik melalui intimidasi, militerisasi, dan kriminalisasi terhadap warga penolak Proyek Strategis Nasional;
Keempat, menyuburkan praktik oligarki dan ketimpangan sosial yang bertentangan dengan
nilai-nilai keadilan sebagaimana diajarkan oleh semua agama;
Baca juga: Kompensasi Jejak Karbon, Kementerian Kehutanan Butuh Tanam 980 Ribu Pohon
Kelima, mengabaikan tata kelola lingkungan yang adil, dengan lemahnya pelibatan publik, minimnya AMDAL/KLHS yang layak, dan penindasan atas suara masyarakat.
Dengan ini Jaringan Tokoh Lintas Agama untuk Keadilan dan Kelestarian menyerukan:
Pertama, penghentian seluruh proyek PSN yang merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat adat dan kelompok rentan;
Kedua, audit menyeluruh dan independen terhadap proyek-proyek PSN yang berjalan maupun yang direncanakan;
Baca juga: Nimmi Zulbainarni, Penambangan Raja Ampat Abaikan Valuasi Ekonomi untuk Keberlanjutan Alam
Ketiga, pengembalian ruang hidup kepada masyarakat serta pemulihan ekologis di wilayah yang terdampak;
Keempat, pemulihan hak ekonomi korban, termasuk kompensasi yang layak dan pengembalian akses terhadap mata pencaharian dan sumber pangan alami;
Kelima, evaluasi hukum dan prosedural terhadap proyek PSN oleh lembaga independen dan parlemen rakyat, guna menjamin keadilan sosial dan keberlanjutan ekologi;
Keenam, penguatan interfaith action sebagai bentuk nyata iman yang hidup, yang membela keadilan dan kelestarian ciptaan Tuhan;
Ketujuh, seruan bersama akan pertobatan ekologis dan kesadaran spiritual lintas agama demi masa depan bumi dan generasi mendatang. [WLC02]
Discussion about this post