Pendekatan lain yang cukup populer adalah menggunakan hidro-climatologycal indikator pada pemodelan karhutla. Dengan menggunakan selisih curah hujan dan penguapan, komponen pertama dari data berubah menjadi tidak hanya mencakup area dengan periode hujan 12 bulan, tetapi juga area yang memiliki periode karhutla enam bulan.
Baca Juga: KLHK Libatkan 3 Kampus Kembalikan Ekosistem Bromo yang Terbakar
“Analisis data menunjukkan penggunaan variabel selisih curah hujan dan penguapan dapat memperkecil jarak batas kritis yang disebabkan perbedaan tipe curah hujan yang ada di Indonesia. Hasil tersebut menunjukkan indikator selisih curah hujan dan penguapan dapat digunakan dalam pemodelan yang berfungsi dengan baik atau robust, meliputi wilayah dengan karakter karhutla yang beragam,” papar Sri.
Metode ini penting mengingat Indonesia telah mengalami lebih dari 300 bencana alam pada periode 1990-2021. Sebanyak 70 persen di antaranya merupakan dampak dari perubahan iklim. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan Indonesia menjadi salah satu negara paling rentan terhadap gelombang panas ekstrem menurut proyeksi model iklim.
“Kondisi tersebut perlu mendapat perhatian, mengingat kekeringan dan gelombang panas ekstrem di Indonesia sangat terkait dengan risiko bencana karhutla,” kata Prof Sri. [WLC02]
Sumber: IPB University
Discussion about this post