Wanaloka.com – Selama dua hari berturut-turut, 12-13 Maret 2025, perwakilan warga Sangihe bersama koalisi Save Sangihe Ikekendage (SSI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Greenpeace, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), bertemu Komisi III DPR RI. Mereka melakukan aksi sekaligus menyerahkan surat-surat tuntutan agar pulau kecil Sangihe tidak lagi dijajah aktivitas tambang.
Dalam rapat dengar pendapat, warga Sangihe menyampaikan sejumlah tuntutan terkait penegakan dan penghormatan konstitusi beserta tatanan hukum yang berlaku di Indonesia. Terutama soal keberadaan PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
“Perusahaan asal Kanada itu menunjukkan pembangkangan terhadap hukum dan konstitusi yang berlaku di Indonesia,” tegas perwakilan KontraS, Andrie Yunus.
Ini ditunjukkan dengan aktivitas penambangan yang terus berlangsung meskipun sudah tidak mengantongi izin operasi produksi. Perusahaan terkesan mempermainkan norma hukum di Indonesia dengan berbagai cara licik untuk terus berproduksi.
Siasat lancung perusahaan Kanada
Meskipun telah kalah mutlak secara hukum, PT TMS diduga tetap beroperasi. Perusahaan itu memakai siasat lancung, yaitu bekerja sama dengan perusahaan lokal CV Mahamu Hebat Sejahtera dan PT Putra Rimpulaeng Persada. Seolah-olah perusahaan yang beroperasi menambang bukan TMS. Membuat masyarakat Pulau Sangihe meradang.
Jejak kerja sama antara TMS dengan kedua perusahaan tersebut terlacak dalam situs web resmi mereka. Baru Gold, sebagai pemegang saham mayoritas TMS, mengumumkan ada dua kontrak perjanjian kerja sama antara perusahaan dengan Rimpulaeng. Perjanjian pertama diteken pada 8 Agustus 2023 dan kedua diumumkan pada 20 September 2023.
Rimpulaeng yang disebut sebagai kontraktor, membayar sekitar Rp4,740 miliar sebagai deposito yang tidak dapat dikembalikan untuk mengelola lahan tersebut. Perjanjian lainnya berupa pembagian keuntungan, dengan kesepakatan TMS akan mendapatkan 35 persen dari total keuntungan yang didapatkan.
Padahal saat perjanjian kedua dibuat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mencabut izin operasi produksi PT TMS melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) Nomor 13.K/MB.04/DJB.M/2023 tentang Pencabutan Keputusan Menteri ESDM Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
Sebelumnya, pada Desember 2022, Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) memenangkan warga dalam kasasi yang diajukan Menteri ESDM dan TMS, dengan menolak permohonan kasasi tersebut. Artinya, PT TMS tidak memiliki landasan hukum untuk terus memaksa beroperasi. Begitu pula dua perusahaan kontraktor yang bekerja sama dengan TMS yang tak mengantongi izin apapun.
Bahkan, keabsahan dan legalitas PT Putra Rimpulaeng Persada diragukan. Nama perusahaan ini tak terdaftar di dalam Sistem Administrasi Badan Usaha (SABU) milik Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum. Artinya, perusahaan tersebut belum mendapatkan pengakuan resmi dari negara atau belum sah secara hukum.
Nama perusahaan hanya tercatat pada situs Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Sulawesi Utara. Terdapat dua nama serupa yang terdaftar di situs itu, yaitu CV Putra Rimpulaeng Perkasa yang dipimpin oleh Hasan Jassin dan PT Putra Rimpulaeng Persada yang dipimpin oleh Hendriko Tindage atau lebih dikenal Riko Tindage.
Selain bekerja sama dengan Rimpulaeng, TMS juga menjalin kerja sama dengan CV Mahamu Hebat Sejahtera yang diumumkan perusahaan pada 3 Agustus 2023. Dalam situs web Baru Gold disebutkan Mahamu memiliki hak mengelola lahan seluas total 65,48 hektare secara bertahap selama lima tahun, dengan luas di awal pengelolaan 15 hektare. Serupa dengan Rimpulaeng, TMS meminta deposit sebesar Can$ 6 juta dan bagi hasil keuntungan sebesar 35 persen.
Perjanjian dengan Mahamu juga dibuat ketika TMS sudah tak memiliki alas hukum untuk melanjutkan operasi produksi. Sama seperti Rimpulaeng, Mahamu juga tak tercatat dalam lembar berita negara. Perusahaan itu tak memiliki legalitas untuk beroperasi sebagai sebuah entitas bisnis, serta tak memiliki legalitas untuk melakukan operasi produksi emas.
“TMS telah menggunakan perusahaan abal-abal sebagai perpanjangan tangan untuk tetap beroperasi demi mendapatkan keuntungan. Seluruh aktivitas itu dapat dikategorikan kegiatan pertambangan illegal,” kata Divisi Hukum Jatam, Muh. Jamil.
Praktik beking PT TMS
Dalam kepengurusan perusahaan, terdapat nama Robert Karepowan sebagai Komisaris PT TMS, yang merupakan perwira di lingkungan Polda Sulawesi Utara dan pensiun sejak 2023. Ia memiliki perjanjian kerja sama khusus dengan Direktur Utama TMS Terrence Filbert (Terry Filbert). Dalam MoU pribadi antar keduanya disebutkan, Robert memiliki kekuasaan penuh sebagai kuasa hukum Terry Filbert atas lahan eks PT Borneo Jaya Emas di Ratatotok, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara.
Agar seolah-olah memberi ruang kepada warga lokal, Terry Filbert melibatkan warga lokal untuk menjadi ‘tameng’. Dari penelusuran, kedua perusahaan yang diajak bekerja sama, salah satunya tercatat dipimpin Hendriko Tindage.
Berbagai dokumen pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe menyebutkan Riko Tindage merupakan asisten pelatih sepak bola tim daerah pada Pekan Olah Raga Nasional Provinsi XI 2023. Namanya juga tercatat sebagai pengurus PSSI Sangihe periode 2022-2026.
Menurut warga, Rimpulaeng diduga terkoneksi secara tidak langsung dengan Seunal Thunghari, ayah dari Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe terpilih saat ini Michael Thungari. Dalam permainan bisnis tambang ilegal di atas lahan milik TMS tersebut, Riko Tindage diduga bukan pemilik utama Rimpulaeng, melainkan Lukas Lumape. Riko disebut warga hanya sebatas operator yang menjalankan bisnis semata.
Lukas Lumape merupakan pemain lama dalam bisnis emas haram di Sangihe. Ia diduga bekerja sama dengan Seunal Thunghari melalui sewa alat berat (eskavator). Belakangan, Seunal tak hanya menyewakan alat berat. Ia juga memainkan peran sebagai pemain yang langsung bekerja sama dengan pengusaha dari Minahasa. Pengusaha ini diduga memiliki relasi kekerabatan dengan aparat penegak hukum di lingkup Polda Sulawesi Utara.
Selain Lukas, Seunal diduga juga memiliki banyak pelanggan sewa alat berat untuk menambang emas di Bowone, Sangihe. Dalam lingkup politik lokal, Lukas merupakan ayah dari Arnol Lumape, anggota DPRD termuda Sangihe dari NasDem.
Lukas sempat tersandung kasus pada 2017 ketika jatuh korban di lubang tambang miliknya. Selain itu, namanya tercantum dalam daftar perkara di Pengadilan Negeri Tahuna sebagai pemohon pra-peradilan untuk membatalkan status tersangka yang melekat pada dirinya. PN Tahuna menolak permohonan tersebut.
Praktik memanfaatkan beking untuk mengadali hukum di Indonesia dilakukan pula oleh Terry Filbert dengan mengajak Hashim Djojohadikusumo masuk ke dalam perusahaan melalui skema transaksi saham. Bergabungnya Hashim yang merupakan adik kandung Presiden Prabowo Subianto itu ditandai dengan kesepakatan akuisisi saham sebesar 10 persen oleh PT Arsari Tambang, entitas usaha milik Hashim. Hal lain yang penting, Terry Filbert mengganjar kursi Presiden Komisaris TMS kepada Hashim.
Langkah PT TMS menjalin kerja sama dengan PT Arsari Tambang patut diduga sebagai upaya perusahaan untuk mendapatkan perlindungan dari kekuasaan politik yang besar. Terlebih, TMS memiliki reputasi buruk sebagai perusahaan asing yang gemar menginjak marwah hukum dan konstitusi Indonesia.
Pasal 18 kontrak karya
Kontrak Karya 1997 antara TMS dengan pemerintah Indonesia, kemudian di-reaktivasi pada 2009, merupakan sumber petaka bagi warga Sangihe. Kontrak inilah yang menjadi karpet merah bagi TMS untuk mencabik-cabik kohesi sosial dan bentang alam Sangihe.
Tak hanya menjadi pemulus jalan TMS, kontrak tersebut merupakan bukti paling sahih pemerintah tak ragu menjadikan warga Sangihe sebagai tumbal proyek demi investasi. Di dalam kontrak tersebut secara terang-benderang dicantumkan Pasal 18 sebagai pasal ‘Ketentuan Kemudahan’. Berisi serangkaian jaminan kemudahan yang diberikan pemerintah bagi TMS.
Kemudahan tersebut antara lain upaya pemerintah untuk bekerja sama dengan berbagai pihak dalam mengurangi setiap gangguan yang timbul dari pihak lain yang beroperasi berdasarkan hak yang berbeda, hak untuk memindahkan pohon, tanah penutup, dan penghalang lainnya untuk penambangan. Dalam itu juga disebutkan, pemerintah akan membantu perusahaan dalam pengaturan pemukiman kembali (relokasi) untuk warga setempat.
Ironisnya, warga Sangihe yang menjadi tuan rumah tak pernah dilibatkan dalam perjanjian Kontrak Karya TMS ini. Perjanjian hanya dibuat oleh pemerintah dan TMS, sedangkan warga hanya menjadi objek dari perjanjian. Padahal, dalam sebuah perjanjian berdimensi hukum, seluruh subjek hukum harus mengetahui adanya sebuah perjanjian.
“Kontrak karya ini harus dibatalkan demi hukum karena warga Sangihe tidak mengetahui keberadaannya di dalam perjanjian tersebut, sehingga menunjukkan adanya cacat kehendak,” kata perwakilan Save Sangihe Island, Jull Takaliuang.
Discussion about this post