Wanaloka.com – Tren pertanian organik di kalangan masyarakat kini kian mendapat perhatian menjadi salah satu solusi strategis menuju sistem pangan berkelanjutan. Dengan menekankan pengelolaan ekosistem alami tanpa bahan kimia sintetis, pertanian organik tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga menjaga kesehatan manusia sekaligus membuka peluang pasar domestik dan ekspor.
Kepala Pusat Riset Tanaman Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Setiari Marwanto, menegaskan tren pertanian organik semakin meningkat di berbagai negara, seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan keberlanjutan lingkungan.
“Pertanian organik bukan sekadar gaya hidup, melainkan solusi nyata untuk menjaga kelestarian ekosistem, meningkatkan kesejahteraan petani, dan memastikan ketahanan pangan di masa depan,” ujar Setiari dalam Webinar EstCropsCorner #19 bertema “Inovasi Teknologi Mendukung Pertanian Organik Berkelanjutan”, Selasa, 23 September 2025.
Baca juga: Pakar Tegaskan Sekolah dan Orang Tua Bisa Menolak MBG Akibat Keracunan Berulang
Namun, di balik prospek menjanjikan, jalan menuju pertanian organik berkelanjutan masih penuh tantangan. Berbagai kendala itu mulai dari produktivitas yang relatif rendah, keterbatasan pupuk organik berkualitas, hingga distribusi dan akses pasar yang belum optimal. Sertifikasi organik yang memerlukan biaya tinggi juga menjadi hambatan bagi petani kecil untuk mengakses pasar internasional.
“Di sinilah peran inovasi dan teknologi menjadi sangat penting,” kata dia.
Meliputi dukungan teknologi seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), hingga aplikasi digital dapat membantu petani mengelola lahan secara presisi, memantau kondisi tanah dan iklim secara real-time, serta mengurangi ketergantungan pada input kimia.
Baca juga: UGM dan IPB Bicara Soal Restorasi Hutan dan Reklamasi Bekas Tambang
Pestisida dan pupuk dari nabati
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN, Prof. Agus Kardinan menyoroti peran pestisida nabati dalam mendukung pertanian organik. Ia mengingatkan dampak Revolusi Hijau pada era 1980-an, ketika penggunaan pestisida sintetis masif hingga disubsidi 80 persen.
“Penyemprotan saat itu bukan lagi sekadar mengendalikan hama, tapi seperti menyiram racun ke ladang. Memang panen berhasil, tapi jangka panjangnya lingkungan rusak, hama resisten, dan residu beracun tertinggal di tanah, air, serta tanaman,” ungkap dia.
Solusinya, Agus mendorong pemanfaatan kekayaan hayati Indonesia. Tanaman seperti tembakau, daun mimba, akar tuba, cengkeh, serai, hingga minyak atsiri seperti nilam dan jeruk purut terbukti menghasilkan senyawa aktif yang mampu mengendalikan hama secara ramah lingkungan.
Baca juga: BMKG Uji Kesiapsiagaan Dampak Gempa M9,0 Selat Sunda Lewat IOWAVE25
“Saya telah meneliti dan memformulasikan berbagai pestisida nabati lebih dari 20 tahun. Beberapa sudah dipatenkan, digunakan di lapangan, bahkan diekspor ke Jepang,” jelas dia.
Pestisida nabati bekerja dengan cara berbeda dari pestisida kimia. Alih-alih membunuh langsung, pestisida nabati mengganggu siklus biologis hama, memperlambat pertumbuhan, menghambat metamorfosis, dan menurunkan populasi. Contoh nyata adalah selasih yang menghasilkan metil eugenol, atraktan alami efektif untuk perangkap lalat buah.
“Pestisida nabati tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga memberi nilai tambah ekonomi. Bayangkan, harga metil eugenol bisa mencapai Rp1,2 juta per liter, sementara bahan bakunya tumbuh subur di pekarangan kita,” papar Agus.
Baca juga: Jatam Menilai Pemerintah Sedang Memoles Citra Lewat Lahan Tambang Bermasalah







Discussion about this post