Kemudian lampiran Akta 1929 yang dilegalisir Notaris berdasarkan Pasal 15 UU Jabatan Notaris juga tidak dipertimbangkan. Terkait bisa tidaknya akta tersebut dijadikan dasar kepemilikan, semestinya menjadi kewenangan BPN, bukan peradilan pidana.
Juga keterangan saksi Suparmo yang datang ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kemudian pihak KLHK menerangkan akta tersebut tidak sah sehingga tidak dapat dibenarkan dan diambil sebagai pertimbangan. Hal tersebut memunculkan pertanyaan bagi koalisi. Pertama, siapa orang KLHK yang memberikan penjelasan dan sejauh ini tidak pernah diperiksa.
“Tidak dapat dipastikan keterangannya (Suparmo), tidak bisa dipertanggung jawabkan secara hukum,” kata Habibus.
Baca Juga: BMKG Ajak Global Kolaborasi Pengamatan Laut Demi Informasi Cuaca yang Akurat
Kedua, KLHK tidak memeliki wewenang untuk menyatakan sah atau tidaknya dokumen pertanahan, termasuk akta. Sebab tugas lembaga tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Inspektorat Jenderal mempunyai tugas pokok melaksanakan pengawasan internal di Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jadi bukan lembaga yang bisa memberikan label terkait dengan akta 1929 tentang sah atau tidaknya akta tersebut.
Koalisi menengarai kasus kriminalisasi Trio Pakel menjadi bukti, bahwa negara diduga turut melancarkan teror untuk menyebarkan ketakutan kepada warga yang berusaha untuk memperjuangkan hak atas ruang hidup. Bahwa negara dinilai gagal mendefinisikan Pembela HAM sebagai pelindung.
“Ketiga petani itu jelas bukanlah penjahat. Melainkan pelindung yang mempertahankan tanah dan sumberdaya yang menjadi mata pencaharian keamanan dan warisan mereka,” kata Wahyu Eka S. dari Walhi Jawa Timur.
Baca Juga: Terinspirasi Yin Yang, Tim Kuya Sigma ITB Raih Sertifikat Tahan Gempa
Bentuk kriminalisasi tersebut dinilai koalisimerupakan kegagalan negara yang tidak memahami peran ketiga petani yang bertindak bukan karena mereka memilih untuk melakukannya. Melainkan karena mereka harus melakukannya demi memperjuangkan hak atas tanahnya.
Kronologi Trio Pakel
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menjelaskan konflik pertanahan di Pakel terjadi antara warga desa dengan perusahaan perkebunan sejak 2018. Laporan media menyebut bahwa para petani Pakel tersebut dihadang sekelompok orang tidak dikenal pada 3 Februari 2023.
Selanjutnya, Polda Jawa Timur pada 8 Februari 2023 menyatakan mereka telah ditangkap Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jatim bersama Polresta Banyuwangi. Mereka ditahan dengan tuduhan penyebaran berita bohong terkait kepemilikan lahan yang sudah dikuasai suatu perusahaan perkebunan di wilayah Pakel, dengan menyatakan tanah yang dikuasai perusahaan itu adalah milik warga berdasarkan akta 1929.
Baca Juga: Perusahaan Tambang Nikel Gugat UU 27 Tahun 2007, Walhi: Ancaman Kelangsungan Hidup Pulau Kecil
Menurut Usman, kriminalisasi petani tidak saja menghambat kebebasan berbicara, tapi juga menghambat pencapaian keadilan sosial. Sementara keadilan sosial hanya dapat diwujudkan apabila negara serius melakukan redistribusi lahan kepada para petani.
“Kami mendesak negara segera dan tanpa syarat membebaskan petani Pakel. Negara harus menyelesaikan konflik agraria yang dipersoalkan para petani Pakel melalui cara yang adil dan manusiawi,” tegas Usman dalam rilis yang diterima Wanaloka.com pda 28 Oktober 2023.
Vonis 2 Kasus Agraria di Banyuwangi
Berdasarkan catatan Koalisi Trio Pakel dan Amnesty International Indonesia, sebelum kasus Trio Pakel, PN Banyuwangi juga pernah menjatuhkan vonis yang dinilai tidak adil. Pada 2017, empat warga Desa Sumberagung dikriminalisasi karena menentang tambang emas di Bukit Tumpang. Salah satu di antaranya dipenjara karena menyuarakan penolakan.
Baca Juga: Teknologi Masaro Ubah Kebiasaan Buang Sampah Menjadi Jual Sampah
Pada 2021, tiga warga Desa Alasbuluh, Wongsorejo dituduh menghalangi pertambangan yang mengakibatkan rusaknya jalan kampung dan menimbulkan debu berlebihan. Ketiganya dituding melanggar Pasal 162 UU Minerba, yakni menghambat dan menghalangi pertambangan. Mereka divonis tiga bulan penjara oleh Hakim PN Banyuwangi, kemudian dibebaskan Mahkamah Agung di tingkat kasasi.
Lalu pada 2023, kasus Trio Pakel. Padahal protes mereka terkait hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Lagi-lagi hakim PN Banyuwangi tidak mampu melihat konteks persoalan. Tidak memahami apa itu hak bersuara untuk lingkungan hidup yang baik dan sehat,” tukas Wahyu. [WLC02]
Discussion about this post