Solusi pembangunan ekonomi, seperti jawaban Prabowo, tidak menggambarkan model pembangunan tertentu. Data peningkatan ekonomi di Papua yang ditunjukan kandidat Prabowo, seperti seni sulap data ekonomi makro yang menutupi ekonomi mikro dan kearifan masyarakat Papua yang kandas.
Apabila ide pembangunan ekonomi itu bersifat ekstraktif dan timpang, seperti yang berjalan selama ini, justru berdampak hilangnya hak dasar warga negara. Contoh penerapan model pembangunan ekonomi ekstraktif dan ekspansif ditunjukkan melalui perampasan hutan-hutan adat untuk pembangunan tol dan program food estate (awalnya MIFEE).
Pembangunan ekonomi model itu telah menghadirkan ketidakadilan pada masyarakat adat Papua. Perampasan hutan seluas sekitar 2.684.680,68 Ha telah mendorong laju konversi dan deforestasi yang berdampak pada kehidupan masyarakat di Papua.
Baca Juga: Gempa Darat di Kuantan Singingi Riau, Ini Analisis dan Rekomendasi BMKG
Model pembangunan ekonomi yang ekspansif dan ekstraktif itu, akhirnya melegitimasi kebijakan ekonomi yang padat modal melalui skema investasi dan sentralistik. Model itu lepas dari cara pengelolaan yang demokratis. Tercatat 36 perusahaan terlibat menggarap food estate dalam program MIFEE, meliputi Wilmar International, Medco Group, Rajawali Group, Murdaya Poo Group, PT. Bangun Tjipta Sarana, Sinar Mas Group dan Artha Graha Group.
Masalah ekstraksi sumber daya alam Papua sebagai penyulut ketimpangan juga berkorelasi dengan tempat lain. Papua tidak dapat dilihat sebagai hanya Papua. Namun Papua bertalian dengan wilayah lain, seperti Jawa. Ada pengrusakan lingkungan di Papua di satu sisi, dan pembangunan perkotaan di Jawa, yang sama-sama merusak lingkungan.
“Kerusakan lingkungan hidup juga tidak ‘dibunyikan’ di dalam penanganan tindak pidana korupsi,”kata Zenzi.
Baca Juga: Pencarian Korban Hilang Banjir Bandang Humbahas Diperpanjang 3 Hari
Padahal lingkungan hidup menjadi satu dari sekian target kerakusan koruptor melalui berbagai mekanisme kelicikan. Merujuk data Indonesian Corruption Watch (2023), jumlah korupsi sumber daya alam berjumlah 35 temuan yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp6.991.905.298.412 dengan kategori suap dan pungli senilai Rp104.315.000.000 dan pencucian uang senilai Rp700.000.000.000. Korupsi melalui perizinan yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup dan hak atas lingkungan warga negara mengindikasikan lemahnya pelayanan publik tidak berintegritas. Sayangnya, luput dari perbincangan ketiga capres.
“Praktis, pada pembahasan debat pertama, isu lingkungan hanya disebut dalam persoalan pembangunan IKN dan polusi Jakarta,” kata Zenzi.
Ketiga Capres hanya memperdebatkan persoalan teknis, lanjut atau tidak lanjut, dan juga anggaran. Persoalan IKN sama sekali tidak memperlihatkan persoalan dampak lingkungan yang bakal menimbulkan krisis masa depan. Bahkan pemulihan atas ekstraksi di lokasi IKN pun, sama sekali tidak menjadi perhatian.
Baca Juga: Waspada Potensi Bahaya Awan Panas Guguran Merapi di Selatan-Barat Daya
Persoalan lingkungan masa lalu yang belum selesai, seperti pembiaran terhadap lubang bekas tambang. Juga rencana pembangunan IKN yang berpotensi berdampak pada spesies yang masih bertahan di Kalimantan Timur. Persoalan konflik agraria akibat IKN yang telah memunculkan potensi kriminalisasi terhadap rakyat juga tidak dilihat sebagai bagian masalah.
Walhi mengungkapkan hak atas lingkungan menjadi persoalan yang tidak bisa ditolerir. Data yang dihimpun Walhi menyebutkan, bahwa konflik sumber daya alam sepanjang tahun 2023 mencapai 692 kasus. Belum termasuk konflik hak atas lingkungan hidup sehat di perkotaan. Dampak lain konflik sumber daya alam adalah masifnya kriminalisasi pejuang lingkungan juga terus terjadi sebagai akibat pembangunan yang ekspansif.
“Hilangnya pembahasan hak atas lingkungan dari perbincangan HAM merupakan ‘alarm’ bahwa hak atas lingkungan tidak dianggap sebagai masalah serius yang harus ditegakkan,” tutup Zenzi. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post