“Berbagai bentuk pembangunan infrastruktur yang dibangun di kawasan pesisir Bali akan memperparah penghancuran ekologis Pulau Bali. Sekaligus memperburuk dampak krisis iklim yang harus dihadapi masyarakat di sana ke depan,” papar Made.
Bencana Iklim di Pesisir dan Pulau Kecil
KTT ASIS Forum 2023 juga tidak mempertimbangkan bencana iklim yang semakin massif menghancurkan kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan sejak satu dekade terakhir. Manajer Kajian Kebencanaan Eksekutif Nasional Walhi, Melva Harahap menjelaskan dampaknya telah banyak kematian, hilang harta benda, hancurnya mata pencaharian nelayan, dan kerusakan lingkungan.
Pada 2022 telah terjadi 1.057 cuaca ekstrem serta 26 kali gelombang pasang dan abrasi di pesisir dan laut. Akibatnya, banyak nelayan tangkap tradisional tak bisa melaut. Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, sejumlah nelayan sudah tidak bisa melaut selama tiga pekan sejak Desember 2022 lalu. Akibat cuaca buruk, hasil tangkapan ikan sebanyak tiga ton juga harus hilang di laut karena perahu nelayan di kota Kupang dihantam gelombang.
Baca Juga: Rice Cooker Gratis Kurangi Impor LPG, DPR: Emak-emak Lebih Butuh Pangan Murah
Pada saat yang sama, ratusan nelayan tradisional di Teluk Jakarta tetap harus melaut meskipun menghadapi cuaca ekstrem. Tak jarang mereka pulang dengan tangan hampa, tanpa hasil tangkapan. Di penghujung 2022, seorang nelayan bernama Suhali meninggal di Teluk Jakarta.
Yang dialami nelayan di Kupang dan Jakarta, menurut Melva menggambarkan betapa bencana iklim sangat berbahaya bagi kehidupan lebih dari dua juta nelayan tradisional di Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah nelayan yang meninggal akibat cuaca buruk sebanyak 87 orang dan pada 2020 naik menjadi 251 orang.
“Ini tak dapat dibiarkan, karena mereka adalah aktor utama sektor kelautan dan perikanan,” tegas Melva.
Baca Juga: Delegasi Muda Sepakati 4 Poin Deklarasi Pemuda AIS
Di pulau kecil, bencana longsor di Pulau Serasan, Kepulauan Riau, yang terjadi pada pertengahan tahun 2023 menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk melindungi pulau kecil. Anehnya, banyak pulau-pulau kecil dihancurkan untuk pertambangan nikel. Masyarakat di pulau kecil dipaksa pindah demi invetasi, seperti Pulau Rempang.
“Masyarakat pulau kecil seperti Pulau Rempang, punya kerentanan tinggi oleh bencana iklim. Tapi pemerintah memaksa mereka menjadi pengungsi,” ungkap Melva.
Kerancuan Ekonomi Biru
KTT AIS Forum 2023 juga menjadi ruang Pemerintah mengkampanyekan ekonomi biru menjadi solusi tata kelola kelautan dan perikanan. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin menyampaikan ekonomi biru bukanlah solusi untuk tata kelola laut di Indonesia. Mengingat laut di Indonesia masih diposisikan menjadi ruang kompetisi terbuka (mare liberum). Doktrin mare liberum atau Laut Bebas yang digagas seorang ahli hukum Belanda, Hugo de Groot alias Hugo Grotius dipadukan dengan ekonomi pasar modern, sesungguhnya mendorong terjadinya eksploitasi berlebih pada sumber daya laut.
Baca Juga: KTT AIS Forum 2023 Dibuka, Ini Tiga Pesan Presiden Jokowi
Doktrin mare liberum menjadi dasar dari konsep laut sebagai open acces. Bahwa laut menjadi ruang kompetisi antara nelayan atau masyarakat dengan industri skala besar. Kontrol dan akses tidak diberikan kepada masyarakat pesisir. Siapa pun yang memiliki power dapat mengeksploitasi sumber daya di wilayah tersebut. Warna “biru” dalam “ekonomi biru” merepresentasikan ekonomi kapitalis berintikan pasar dan modal.
“Ruang tangkap nelayan tradisional tidak mendapatkan pengakuan, terutama dalam peraturan perundangan. Pemerintah lebih memprioritaskan untuk memberi akses terbuka kepada siapa pun atas dasar siapa kuat (secara finansial). Kondisi ini mengakibatkan ‘tragedi kepemilikan bersama’ (tragedy of the commons),” kata Parid.
Sejumlah negara punya pengalaman tak baik tentang ekonomi biru. Di Zanzibar, Tanzania, dan Chile, ekonomi biru melahirkan diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan melalui ketidakadilan prosedural pada perikanan skala kecil.
Baca Juga: Warga Melayu Rempang Bersalawat dan Berpantun Tolak Relokasi
Selanjutnya, di negara Palau dan Pohnpei, ekonomi biru menyebabkan tragedi komoditas yang menyebabkan tingkat deplesi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, kesenjangan dan kemiskinan meningkat serta krisis ekologi, dan perubahan iklim kian massif. Di Papua Nugini, ekonomi biru terbukti menggerus makna geo-spritual masyarakat pulaunya, mengganggu keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pulau, degradasi sumber daya alam dan kerusakan ekologi pulau kecil. Sementara di Namibia, ekonomi biru hanya menjadi justifikasi proyek-proyek pertambangan laut dalam, mendorong degradasi lingkungan dan dampak sosial yang negatif, utamanya terhadap mata pencaharian dalam sektor perikanan Namibia.
Dalam kerancuan konseptual dan bias kepentingan negara-negara utara, ekonomi biru dikampanyekan pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional, termasuk dalam KTT AIS 2023. Sekaligus diarusutamakan dalam pembangunan ekonomi kelautan, khususnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
“Ini ironi besar,” tegas Parid.
Baca Juga: Kerumitan Kelola Hutan untuk Pembangunan dan Penurunan Emisi
Di Indonesia, implementasi ekonomi biru telah dan sedang mendorong dan mempercepat perampasan ruang laut atau ocean grabbing. Istilah ocean grabbing digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut. Sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil.
Ekonomi biru justru menambah persoalan baru ketimbang menyelesaikan masalah tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia. Pada titik ini, Pemerintah Indonesia seharusnya kembali pada konsep ekonomi yang dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia dan mempromosikannya dalam forum-forum internasional seperti AIS 2023.
“Pemerintah seharusnya tidak silau dengan ekonomi biru yang sangat bias kepentingan negara-negara utara,” kata Parid.
KTT AIS Forum dinilai hanya akan menjadi ruang perluasan konsolidasi kapital dan investasi untuk menguasai pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. [WLC02]
Discussion about this post