Ketiga, masyarakat yang menguasai lahan antara 5-25 hektar (butuh identifikasi lebih lanjut apakah dapat dimasukkan ke kelompok pertama atau kedua).
Baca juga: Baru 19 Persen Wilayah di Indonesia Memasuki Musim Kemarau
Prosesnya, ada masyarakat yang dibiarkan negara untuk menetap, beraktivitas ekonomi, dan melakukan aktivitas sosial lainnya di lokasi tersebut selama belasan tahun. Kemunculan desa definitif dan pemberian sarana prasarana menunjukkan besarnya peran negara membiarkan, bahkan mengakselerasi penguasaan dan aktivitas ilegal di sana.
“Kesalahan dengan melakukan aktivitas pembiaran ini tidak boleh diulang dengan tindakan represif dan militeristik,” tegas Andri.
Ia juga menegaskan, penegakan hukum kepada pemodal yang mempunyai areal perkebunan besar harus diutamakan. Hukum harus dikerjakan secara selektif dan tidak dengan mudah menyasar mereka yang lemah.
Baca juga: KKP Larang Jual Beli Pulau, Tapi Boleh Dimanfaatkan Pemodal Luar dan Dalam Negeri
Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, Eko Yunanda mengatakan pemulihan kawasan TNTN harus ditinjau dari dua aspek, lingkungan hidup dan sosial.
“Kami sepakat upaya penertiban ini mendukung upaya pemulihan kawasan TNTN. Namun aspek sosial juga harus dipertimbangkan. Bisa dimulai dengan mengidentifikasi subjek dan objek pengelolaan. Upaya pemulihan TNTN juga sebaiknya dilakukan dengan melibatkan masyarakat korban atau masyarakat terdampak,” papar Eko.
Pemberian waktu jangka benah yang patut dapat secara pararel dilakukan secara perlahan dengan proses pergantian tanaman kelapa sawit dengan tanaman hutan. Tidak menutup kemungkinan, pendekatan kemitraan konservasi dibuka untuk memberi ruang keberlanjutan hidup kepada masyarakat, bukan kepada tuan tanah atau pebisnis besar.
Baca juga: Ada Temuan Tujuh Spesies Baru Lobster Air Tawar di Papua Barat
Menurut Eko, generalisasi tenggat waktu tiga bulan yang diberikan Satgas PKH untuk merelokasi semua pihak hanya akan memicu konflik besar. Relokasi ini bukan sekadar persoalan pindah rumah. Namun masyarakat harus memastikan pekerjaan pengganti untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga kelanjutan pendidikan anak mereka yang berpotensi putus sekolah.
Guna menyelamatkan hutan alam tersisa di TNTN, pemerintah di berbagai level harus memastikan komitmen pengawasannya. Selain itu, pemerintah perlu mendorong masyarakat terlibat aktif dalam upaya perlindungan yang selaras dengan aspek ekonomi berpotensi meningkatkan partisipasi untuk melindungi hutan alam tersisa, termasuk pemulihannya.
“Preseden buruk, perampasan aset yang bermuara pada pengalihan pengelolaan PT Agrinas Palma Nusantara tidak boleh diulang. Negara harus tegas dalam komitmen pemulihan TNTN. Meminimalkan penggunaan tindakan represif dan penegakan hukum secara selektif harus jadi suatu yang integral guna menyelesaikan persoalan ini,” papar Eko.
Baca juga: Ada Izin Tambang di Pulau Kecil Citlim di Kepulauan Riau
Pemerintah klaim pulihkan fungsi kawasan hutan nasional
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan (Gakkum) Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bersama Satgas Garuda dan dukungan penuh dari Komisi IV DPR RI melakukan penguatan upaya penertiban Kawasan Hutan TNTN. Upaya itu disebut bagian dari langkah strategis Pemerintah untuk memulihkan 3,7 juta hektar kawasan hutan yang dikelola tidak sesuai fungsinya.
Satgas Garuda yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2025 tentang Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), telah memulai operasi di TNTN yang memiliki luas kawasan sebesar 81.739 hektare. Berdasarkan luas tersebut, sekitar 40.000 hektare kawasan TNTN telah dibuka dan ditanami sawit secara ilegal.
Pemerintah menargetkan pemulihan kawasan hutan ini melalui skema rehabilitasi berbasis padat karya, restorasi ekosistem, serta penegakan hukum secara menyeluruh. Penertiban TNTN disebut menjadi target strategis Presiden dalam program pemulihan kawasan hutan, yang hasil awalnya akan diumumkan pada 17 Agustus 2025.
Baca juga: Hatma Suryatmojo, Berlakukan Moratorium Tambang di Kawasan Geopark, Pulau Kecil dan Hutan Lindung
“Kami didukung seluruh elemen, termasuk Eselon I Kemenhut, untuk merehabilitasi kawasan hutan dengan pendekatan komprehensif dan humanis,” ujar Direktur Jenderal Gakkum Kemenhut, Dwi Januanto Nugroho.
Ia juga menekankan pentingnya dukungan lintas sektor dalam mengatasi ketimpangan jumlah Polisi Hutan yang dinilai tidak sebanding dengan besarnya tantangan pengamanan hutan di Indonesia.
Hanya saja, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Ahmad Johan menyatakan langkah penertiban kawasan hutan seperti TNTN merupakan kebutuhan mendesak yang tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan represif.
Baca juga: Nimmi Zulbainarni, Penambangan Raja Ampat Abaikan Valuasi Ekonomi untuk Keberlanjutan Alam
“Kami memerlukan kerangka kebijakan yang terintegrasi, koordinasi lintas sektor, serta keterlibatan masyarakat lokal dan para pemangku kepentingan,” tegas dia.
Komisi IV juga meminta penjelasan rinci tentang tahapan penertiban yang dilakukan Satgas di TNTN, peran pemerintah daerah dan LSM dalam mendukung pemulihan, skema transisi sosial bagi masyarakat terdampak, serta penegakan hukum terhadap pelaku perambahan dan audit kepemilikan sawit ilegal di kawasan hutan.
Anggota DPR dari berbagai fraksi turut menyampaikan komitmen mendukung penuh penertiban. Termasuk menyuarakan pentingnya penindakan terhadap cukong dan perusahaan besar, serta pemeriksaan atas terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) ilegal yang diduga kuat melibatkan oknum pemerintah.
Baca juga: Kompensasi Jejak Karbon, Kementerian Kehutanan Butuh Tanam 980 Ribu Pohon
Sementara menurut laporan Satgas Garuda, kondisi TNTN saat ini sangat memprihatinkan. Populasi gajah terus menurun. Dalam 20 tahun terakhir, kawasan ini mengalami degradasi akibat aktivitas ilegal masyarakat pendatang di dalam kawasan. Dari sekitar 15.000 jiwa yang tinggal di kawasan TNTN, hanya 10 persen yang merupakan penduduk asli.
Dengan kekuatan 380 personel yang ditempatkan di 13 titik, Satgas telah memasang portal, membangun pos penjagaan, dan memulai proses pengosongan secara persuasif tanpa kekerasan. Sejumlah masyarakat juga mulai secara sukarela meninggalkan kawasan. Satgas mencatat 1.805 SHM terbit di kawasan TNTN dan tengah diverifikasi bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Target kami adalah menciptakan kondisi de facto bahwa negara hadir dalam penertiban kawasan hutan. Proses hukum berlangsung selama dua tahun ke depan, dan pemulihan dilakukan dengan pendekatan humanis,” jelas Komandan Satgas.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau pun menyatakan kesiapan mendukung penuh instruksi Gubernur dalam menyusun Tim Pemulihan Pasca-PKH TNTN. Pemerintah daerah mengklaim aktif mengidentifikasi dan memverifikasi penduduk serta memfasilitasi transisi sosial yang adil dan berkelanjutan. [WLC02]
Sumber: Walhi, Kementerian Kehutanan
Discussion about this post