Wanaloka.com – Koalisi Warga Jogo Banyu Yogyakarta, menyampaikan protes keras kepada DPRD DIY yang mengingkari komitmen pelibatan publik dalam pembahasan Raperda Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral Logam, Mineral Bukan Logam, Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu, dan Batuan.
Sebab undangan resmi rapat kerja Panitia Khusus Berita Acara (Pansus BA) 7 Tahun 2025 tentang pembahasan raperda tersebut yang dilaksanakan Kamis, 20 November 2025 disinyalir hanya ditujukan jajaran internal legislatif, perangkat eksekutif, dan instansi teknis.
“Ini adalah bukti, DPRD DIY tidak konsisten dengan janji pelibatan publik. Raperda pertambangan menyangkut hajat hidup warga, sumber air, dan ruang hidup. Namun pembahasannya dilakukan secara tertutup dan eksklusif, tanpa melibatkan pihak yang paling terdampak dan masyarakat sipil,” seru perwakilan Koalisi Warga Jogo Banyu Yogyakarta, Himawan Kurniadi dalam siaran tertulis, Jumat, 21 November 2025.
Baca juga: Longsor Banjarnegara, 18 Orang Masih Dalam Pencarian
Padahal komitmen pelibatan masyarakat, sebelumnya telah disampaikan secara lisan oleh Anggota Pansus BA 7 Tahun 2025 dan Komisi C DPRD DIY diwakili Nur Subiyantoro dan Muh. Lisman Puja Kesuma pada Senin, 26 Mei 2025 saat audiensi awal bersama Koalisi Warga Jogo Banyu Yogyakarta.
Adapun salah satu hasil diskusi dalam forum tersebut dijanjikan akan mengundang Koalisi Warga Jogo Banyu Yogyakarta dalam proses penyusunan sampai pembahasan pasal per pasal untuk raperda ini. Namun sampai hari ini tidak terealisasi dalam proses pembahasannya.
Ada beberapa catatan besar yang menjadi masukan Koalisi Warga Jogo Banyu Yogyakarta dari hasil membedah Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Daerah yang didapatkan dari Pansus BA 7 DPRD DIY versi draft pada tanggal 30 Mei 2025.
Baca juga: Ratusan Pendaki Terjebak Erupsi Semeru, Status Siaga Jadi Awas Selisih Satu Jam
Pertama, raperda itu belum memuat substansi keistimewaan dalam pembangunan yang berlandaskan filosofi “Memayu Hayuning Bawono” dan “nilai-nilai keistimewaan DIY”. Prinsip tersebut seharusnya menjadi dasar dalam pengaturan hukum yang mengutamakan perlindungan masyarakat dan lingkungan.
Kedua, tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan keterbukaan data dan informasi bagi publik pada penyelenggaraan pertambangan di Provinsi DIY.
Ketiga, minim peran serta masyarakat terutama masyarakat terdampak dalam hal pengawasan pada kegiatan pertambangan di DIY.
Baca juga: Bobibos, Teknologi Konversi Jerami Menjadi Bahan Bakar Hidrokarbon
Keempat, tidak ada pengaturan yang memadai terkait dengan reklamasi yang menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Selama ini dari hasil temuan Koalisi Warga Jogo Banyu Yogyakarta, ketentuan besaran jaminan reklamasi tidak sesuai dengan kerusakan lingkungan yang terjadi, pengaturan mekanisme reklamasi, pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang, serta kelayakan reklmasi beserta penilaian keberhasilan reklamasi 100%.
Kelima, minimnya pengaturan tentang peningkatan nilai tambah dari pertambangan bagi daerah, tidak sebanding dengan risiko yang harus ditanggung masyarakat terdampak. Seperti kerusakan lingkungan, risiko bencana, kerusakan infrastruktur, gangguan kesehatan, ancaman keselamatan dan keamanan berkendara di jalan raya yang juga digunakan oleh angkutan truk material tambang.







Discussion about this post