Atas peristiwa tersebut, KontraS mendesak:
Pertama, Presiden Indonesia menghentikan segala macam bentuk pendekatan militeristik di Papua yang kental akan kekerasan. Pendekatan ini terbukti tidak efektif dan justru menyebabkan banyak kerugian bagi masyarakat;
Kedua, Kepolisian Daerah Papua mengusut tuntas kasus penembakan ini, dan pelaku harus diadili melalui mekanisme yang adil dan akuntabel. Aparat keamanan harus mengayomi serta menjamin keselamatan seluruh warga sipil yang berada di wilayah konflik.
Ketiga, Komnas HAM segera melakukan investigasi secara independen dan imparsial guna mencari fakta atas konflik yang terjadi di Intan Jaya.
Baca Juga: Pabrik Pemurnian Biogas Komersial Pertama Diresmikan di Langkat
Sumber Pangan Papua dan Pusat Konflik
Aksi penolakan pertambangan di Blok Wabu telah dilakukan warga sipil di sana sedari masih direncanakan. Sejak 2022, Amnesty International juga telah mengingatkan, penambangan tersebut berisiko meningkatkan konflik dan melanggar hak-hak Orang Asli Papua (OAP), karena lokasi cadangan emas Blok Wabu telah menjadi pusat konflik antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan Papua dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara lokasi tersebut menjadi tempat bagi warga Intan Jaya untuk membudidayakan tanaman, berburu binatang, dan mengumpulkan kayu.
“Dengan mengabaikan kebutuhan, keinginan, dan tradisi penduduk asli Papua, pengembangan Blok Wabu berisiko memperparah situasi hak asasi manusia yang juga sudah memburuk,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Baca Juga: 1 Tewas Banjir di Tojo Una Una, Darurat Diperpanjang di Sintang
Catatan Amnesty International telah terjadi penambahan personil aparat keamanan dalam jumlah yang mengkhawatirkan di daerah tersebut sejak 2019. Kemudian ada 12 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan. Serta OAP kerap mengalami peningkatan pembatasan kebebasan bergerak, pemukulan dan penangkapan.
“Orang-orang di Intan Jaya hidup di bawah ketakutan. Dan sekarang mata pencaharian mereka berada di bawah ancaman proyek yang tidak dipersiapkan dengan baik ini. Sederhananya, Blok Wabu bisa berakibat bencana,” tegas Usman.
Sejak Maret 2021 hingga Januari 2022, Amnesty International melakukan wawancara jarak jauh dengan 28 orang tentang situasi di Intan Jaya. Para responden meliputi penduduk dan otoritas lokal, pembela hak asasi manusia, dan perwakilan dari organisasi masyarakat sipil. Mereka menggambarkan bagaimana bentrokan bersenjata dan pelanggaran hak asasi manusia telah meningkat secara dramatis selama dua tahun terakhir.
Baca Juga: KLHK Klaim Deforestasi Capai Angka Terendah 104 Ha Tahun 2022
Rencana resmi untuk mengembangkan kegiatan penambangan di Blok Wabu berlangsung sejak Februari 2020. Area penambangan di selatan distrik Sugapa, Ibu Kota Kabupaten Intan Jaya, Blok Wabu itu mengandung sekitar 8,1 juta ons emas yang menjadi salah satu dari lima cadangan emas terbesar di Indonesia. Area penambangan yang diusulkan seluas 69.118 hektare yang kurang lebih seluas Jakarta.
Orang Asli Papua mengatakan mereka takut kehilangan tanah, mata pencaharian serta mengkhawatirkan dampak polusi lingkungan.
“Jika ada penambangan, kami tidak akan memiliki tanah untuk berkebun. Ternak tidak akan mendapatkan buah segar langsung dari hutan, bahkan cucu-cucu kami akan kehilangan tanah adat,” kata salah satu orang asli Papua kepada Amnesty International.
Baca Juga: Potensi Unik Sumber Daya Geologi Desa Jadi Site Museum Geologi
Pada September 2020, seorang pejabat senior Indonesia menyatakan niat pemerintah untuk mengizinkan perusahaan pertambangan milik negara, PT Antam Tbk, untuk mengembangkan kegiatan penambangan di Blok Wabu.
Dalam surat-surat yang dikirim ke Antam dan ke Kementerian ESDM pada Februari 2022, Amnesty International memaparkan masalah-masalah hak asasi manusia terkait proyek tersebut dan mengajukan beberapa pertanyaan. Pada saat publikasi, baik pemerintah maupun perusahaan belum merespons.
“Pemerintah memiliki kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan dari Orang Asli Papua yang mungkin terdampak tambang. Tetapi dalam iklim kekerasan dan intimidasi, sulit membayangkan bagaimana proses konsultasi seperti itu dapat memenuhi standar internasional,” kata Usman Hamid. [WLC02]
Sumber: KontraS, Amnesty International
Discussion about this post