Wanaloka.com – Beralas sandal, sepuluh bocah usia sekolah dasar mendaki pereng atau lereng-lereng tegalan di kawasan Dusun Wintaos, Kelurahan Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu, 27 September 2025. Kaki-kaki kecil mereka melangkah lincah diiringi celoteh riang saat mengikuti Sobo Kebon, salah satu kegiatan Sekolah Pagesangan. Sekolah informal itu menerapkan model pendidikan kontekstual tentang pertanian dan pangan lokal di sana.
Bening sorot mata mereka mengulik tajam ke setiap tanaman yang tumbuh di sana. Di sela bebatuan yang berongga-rongga, di antara tanaman lain yang tumbuh tak beraturan. Ada pohon-pohon kayu hingga alang-alang. Ada tanaman sayur dan buah-buahan. Demi menemukan aneka rupa tanaman umbi-umbian.
Akhirnya, ada enam jenis tanaman umbi-umbian yang mereka temukan di tanah-tanah gersang itu. Ada suweg (Amorphophallus paeoniifolius); kimpul (Xanthosoma sagittifolium) yang juga disebut talas belitung, waliya, atau bentul; sente (Alocasia macrorrhizos); telo pendhem (Ipomoea batatas) atau disebut ubi jalar atau ketela rambat; telo brambangan; telo genjah.
Lantaran umbinya masih bertumbuh di dalam tanah, mereka hanya mengamati daun, batang, warna, juga meraba teksturnya. Anak-anak yang dibagi dalam tiga kelompok itu memindahkan hasil amatannya di atas kertas dalam bentuk gambar.
Demi mendapatkan detil, mereka menggambar dengan teknik sablon sederhana. Caranya, menyelipkan selembar daunnya di bawah kertas, lalu mengarsir lembaran kertas di atasnya dengan pensil sehingga memunculkan cetakn gambar mirip aslinya. Beberapa kelompok memungkasi dengan warna.
“Ciri-ciri suweg apa?” tanya fasilitator sekolah informal itu, Heni Lestari, 21 tahun sambil duduk bersama di tepian jalan tegalan. Seperti biasa, ada sesi bertukar cerita di sela kegiatan itu.
“Godhonge (daunnya) lembut, warnane ijo, batange rada putih,” seru anak-anak.
“Sopo sik nemu kembange (siapa menemukan bunganya)?”
“Akuuu, nek kono…! Koyo bunga bangkai (aku, di sana, seperti bunga bangkai),” sahut lainnya.
“Sakdurunge nemu suweg, nemu opo bae (sebelum suweg, menemukan apa saja)?”
“Kimpuuul…! Telooo…!”
“Ciri-cirine kimpul piye (ciri kimpul bagaimana)?”
“Godhonge bentuke (bentuk daunnya) love you (hati) kebalik,”
“Sing cok mangan kimpul sopo (yang suka makan kimpul siapa)?”
Semua bocah mengacungkan jari telunjuk tinggi-tinggi.
Matahari kian terik. Bocah-bocah itu menyudahi kegiatan dengan membuka bekal makan siang dari rumah. Dalam kotak makanan berisi nasi putih, meskipun padi yang bisa tumbuh di sana adalah padi Segreng Handayani yang menghasilkan beras merah. Lauk dan sayurnya beragam, seperti tempe goreng, sayur dari bonggol pisang, bahkan ada yang berlauk nugget. Air minum disimpan dalam tumbler. Bekal makanan juga biasa mereka bawa saban ke sekolah.
“Makan nasi tiap hari sih, tapi lebih suka makan uwi-uwian (umbi-umbian) karena bergizi. Kalau makan nasi nggak ada rasanya. Dikasih lauk baru enak,” tutur Wildan, 11 tahun kepada penulis.
Umbi-umbian bisa dibuat aneka makanan. Ia mencontohkan, ketela rambat bisa dibuat getuk, kimpul bisa dibakar, singkong dibuat tiwul.
“Makan tergantung musimnya,” imbuh dia.
Namun ada juga yang memilih berlauk nugget. Meski diakui untuk mendapatkan nugget harus membeli ke warung yang berjarak cukup jauh dari rumah.
“Kalau tempe kadang beli, kadang mamak bikin sendiri. Lebih bergizi tempe sih, tapi lebih enak nugget,” aku Yosi, 6 tahun, polos.
Tak hanya menjelajah tegalan untuk mengenal tanaman pangan lokal yang ditanam, mereka juga diajari untuk mengolahnya menjadi beragam makanan. Ada tahu walik kimpul, klepon, susu kedelai, pudding labu, pecel kimpul, juga cemplon. Semuanya berbahan pangan lokal dari tegalan setempat.
Seperti saat musim panen umbi-umbian yang baru saja berakhir September ini. Bocah-bocah itu bersiap untuk belajar mengolah kimpul dan uwi menjadi aneka penganan esok hari. Mereka diminta untuk membawa bahan pangan lokal yang telah dipanen itu dari rumah masing-masing.
“Mengko ngomong karo mamak ya, nggowo kimpul utawa uwi (bilang ke ibu, bawa kimpul atau uwi),” pesan Heni.
“Yen ora duwe, tuku (kalau tidak punya, boleh membeli)?” tanya mereka.
“Ojo tuku yo, soale sesuk kon crito, panene soko ndi. Sak nduwene, ora sak okeh-okehe (jangan beli, karena besok kalian ceritakan panennya dari mana. Bawalah sepunyanya, bukan sebanyaknya),” Heni kembali menekankan pesannya.
Pengetahuan mengenal potensi pangan lokal, tak mereka dapatkan di sekolah formal. Tak heran, mereka senang tiap kali Sabtu dan Minggu tiba.
“Pengen masih bisa jadi petani setelah besar nanti,” seru mereka dengan alasan beragam.
Ada yang ingin mengenang masa kecil, untuk mengenal umbi-umbian, juga melestarikan alam.
Baca juga: Siasat Petani Lestari Kulon Progo Beradaptasi dengan Perubahan Iklim (Bagian 2)
Keseruan anak-anak itu melemparkan ingatan Heni belasan tahun lalu saat ia berusia lima tahun. Saat itu, ia mulai bergabung di Sekolah Pagesangan yang bersifat sukarela alias tak mengikat. Ia sempat tak aktif sekitar kelas IV atau V SD, kemudian kembali bergabung saat kelas II SMP.
Ia dan 16 anak lainnya adalah angkatan ketiga yang ikut belajar di komunitas yang berdiri di Wintaos sejak 2008 itu. Mereka juga belajar soal potensi pangan lokal yang masih ditanam di tegalan hingga disajikan ibu-ibu mereka di atas piring makan.
“Tidak bergantung pada beras (yang menjadi pangan pokok mayoritas orang),” kata Heni.
Ia dan teman-temannya juga belajar membuat tiwul, makanan pokok utama masyarakat Gunungkidul yang berangsur ditinggalkan. Belajar aneka resep masakan berbahan baku pangan lokal. Lalu berkembang cara bertani di lahan tadah hujan. Semuanya berkaitan dengan lingkungan sekitar tempat ia berpijak.
“Kalau saya nggak di sini (Sekolah Pagesangan), nggak bakal ngerti pentingnya tani itu apa. Apalagi cah enom (anak muda) kan jarang mau bertani. Wong di sini itu, (anak-anak muda) menganggap jadi tani itu nggak bermartabat,” ungkap Heni.
Menginjak SMA, teman-teman seangkatannya memilih untuk bekerja di kota. Tinggal Heni sendiri yang bertahan. Berdasarkan data Sekolah Pagesangan pada 2023, dari 87 generasi Z (kelahiran 1997-2012) di Wintaos, hanya empat orang yang bertahan di sana. Mayoritas menjadi pekerja urban.
“Apalagi modernisasi, ada motor, aksesnya lebih mudah. Anak-anak SMP saja sudah bisa naik motor. Jadi lebih suka ke kota,” kata Heni.
Sementara jika mereka bertahan 100 persen menjadi petani pun, berat. Bertani cuma panen sekali dan butuh waktu lama untuk bisa mendapatkan uang tunai. Harga hasil panen pun tak bisa mencukupi kebutuhan.
“Ya, nggak punya pilihan, kerja. Yang kerja di kota itu sebenarnya juga masih tani, tapi nggak sepenuhnya. Ada yang pas musim panen tok (saja), tanam tok, terus pulang. Yang merawat (tanaman) ya bapak, mamak, simbah,” papar dia.
Saat ini, generasi Z Wintaos menyisakan Heni, Lifia dan Murniatun yang memilih bertahan di sana. Mereka turut memfasilitasi anak-anak dan perempuan petani untuk belajar dan melestarikan keanekaragaman pangan lokal di Wintaos.
Kesibukan kuliah, juga tak membuat Heni dan Lifia enggan pulang ke Wintaos saban akhir pekan. Sementara dari ketiga perempuan muda itu, boleh dibilang hanya Murniatun, 26 tahun, yang berfokus sebagai petani. Tak hanya mengolah lahan, bertanam, merawat dan memanen. Murni juga mengolah hasil pangan lokal yang dipanen menjadi aneka produk makanan untuk dipasarkan lewat Kedai Sehat Pagesangan yang turut dirintisnya.
“Pekerjaan petani itu mulia, bisa mencukupi banyak orang,” kata Murni.
Ia aktif membagikan ilmu kegiatan bertani hingga membuat beragam olahan pangan lokal dari hasil panenan sendiri lewat akun media sosialnya. Ada tempe kacang koro, pelas mandingan kecipir, emplek waluh (labu), bubur kacang hijau, tahu isi yang dibalur tepung mocaff, dan banyak lagi.
Pilihan itu tak lepas dari pesan kuat yang ditanamkan bapaknya yang seorang petani. Nek gelem obah yo mamah, nek nandur yo panen (kalau mau bekerja ya bisa makan, kalau menanam ya akan memanen).
Kemandirian sistem pangan lokal

Kegelisahan anak muda seperti Heni, juga dirasakan Sunaryadi Purwanto, 60 tahun, menjelang masa senjanya. Pak Pur, panggilan akrabnya, mengisahkan masa mudanya sebagai petani sambil terkantuk-kantuk. Matanya belum terpejam usai semalam suntuk menabuh gamelan untuk gelaran wayang kulit. Wayang berlakon “Gabah Kencana” itu menceritakan kisah Dewi Sri, si dewi padi.
Pementasan digelar dalam acara rasulan yang menjadi penanda awal musim tanam padi akan dimulai. Mengingat musim penghujan diperkirakan tiba di Gunungkidul pada Oktober 2025. Dalam kenduri itu, warga yang mayoritas petani berdoa kepada Tuhan agar benih yang mereka tanam bisa dipanen dengan jumlah mencukupi dan tidak diserang hama.
“Itu adat di sini,” ucap Pak Pur ditemani istrinya, Mbok Pur, 57 tahun.
Keduanya telah mengakrabi kehidupan Wintaos sedari lahir. Makan dari tanaman pangan yang bisa tumbuh di lahan tandus, berbatu, dengan lapisan tanah yang tipis itu. Tak ada saluran irigasi yang membelah tegalan-tegalan untuk mengalirkan air segar laiknya di lahan-lahan persawahan. Satu-satunya air yang diandalkan untuk tanaman pertaniannya adalah air hujan yang turun semusim.
Pun jangan dibayangkan tegalan di sana seperti hamparan sawah yang lebar dan rata. Lantaran berada di Pegunungan Sewu, lahan tegalan pun berundak seperti terasering, karena berada di lereng. Tanaman yang bertumbuh di sana pun mesti berbagi tempat dengan bebatuan karst yang bertebaran. Dan rata-rata petani memanfaatkan batu-batu berongga itu untuk membendung tanah agar tak longsor, sekaligus menyimpan tanah.
Meskipun di bawah tempat mereka berpijak ada sungai bawah tanah yang mengalir deras, ternyata tak mudah menyedot airnya ke atas. Untuk membuat sumur pun bisa mencapai kedalaman 50 meter lebih. Mau tak mau, kebutuhan air sehari-hari juga didapatkan dari air hujan sejak dulu hingga turun-temurun.
Warga membuat bak-bak penampungan ukuran jumbo untuk menampung air saat hujan tiba. Meski beberapa tahun belakangan, air bersih telah mengalir dari pipa-pipa PDAM, warga tetap menampung air hujan.
Di dusun itu juga ada air telaga, namanya Telaga Jurangjero. Airnya cokelat kehijauan dan keruh. Dinding dan dasarnya sudah dibeton. Warga biasa menggunakan untuk memancing atau menyirami tanaman di sekitar telaga.
Berbeda kondisinya sebelum tahun 1987. Airnya yang jernih bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Rasa gerah, penat dan haus usai bertani terobati dengan mandi di telaga.
“Slulup karo ngombe. Mongko kuwi bar nggo ngguyangi sapi (menyelam sambil minum air, padahal airnya juga untuk memandikan sapi),” kenang Pak Pur sembari terkekeh.
Telaga itu juga digunakan untuk mencuci pakaian, tikar, juga perkakas dapur. Airnya juga mengisi klenting-klenting, yaitu wadah air dari tanah liat. Lalu dibawa pulang untuk kebutuhan minum dan memasak.
“Tapi ya (minum air telaga), sehat,” lagi-lagi Pak Pur tertawa bersama istrinya.
Sampai rumah, terus melahap sepiring tiwul dengan olahan sayur nangka muda atau pun sayur kluwih. Tak ada kerupuk, apalagi mie instan.
“Ora neh neh (tidak aneh-aneh),” imbuh Mbok Pur.
Untuk camilan atau sekadar pengganjal perut, istilahnya krowotan, warga makan umbi-umbian, seperti uwi, gembili, garut, kimpul. Biasanya cukup dengan direbus. Semuanya diambil dari tegalannya.
Demi menyajikan pangan lokal itu di atas piring, warga bertanam dengan tanaman yang bisa tumbuh di lahan tandus. Umumnya, lahan berupa tegalan itu ditanami tanaman pangan pokok, seperti padi, jagung putih, singkong, kacang tanah, juga umbi-umbian lainnya.
Sayur-sayuran ada yang ditanam di pekarangan rumah maupun tegalan, seperti kacang panjang, kedelai hitam, cabai, kecipir, cantel, serta pohon buah, seperti pisang, pepaya. Tanaman-tanaman itu ditanam di atas satu lahan tegalan yang dikenal dengan istilah polikultur atau tumpangsari. Ada juga tanaman kayu keras yang biasa ditanam di hutan, seperti jati, mahoni.
Baca juga: 192 Kali Gempa Landa Sumenep dan Pulau Sapudi Jawa Timur
“Pangan lokal itu hanya nerusin simbah-simbah dulu. Jadi ya tani adat, tani naluri. Yang ditanam itu telo (sebutan warga di sana untuk singkong), jagung, pari, jewawut, cantel, jali. Itu selalu. Ora dilarikke (tidak ditanam dalam barisan), tapi tumpangsari,” papar Pak Pur.
Singkong yang telah dipanen, dikupas kulitnya, dijemur kurang lebih sepekan menjadi gaplek. Saat panen tiba, pemandangan singkong yang dijemur di tiap-tiap pekarangan rumah petani masih dijumpai hingga kini. Mereka menyebutnya dengan istilah nggaplek.
Setelah kering, barulah gaplek ditumbuk dan dikukus menjadi tiwul. Cara menyajikan laiknya nasi dengan beragam sayur dan lauk. Tiwul pun bisa digoreng seperti nasi goreng.
“Dulu makanan pokoknya itu tiwul, nasi jadi lauknya. Sekarang tiwul dan nasi,” kata Mbok Pur.







Discussion about this post