Wanaloka.com – Hamparan padi menghijau membentang di kiri-kanan sepanjang jalan di Dusun Boro, Desa Banjarasri, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Ijo royo royo, demikian orang bilang. Di beberapa akun media sosial, kawasan itu diunggah menjadi alternatif spot menikmati matahari terbit.
“Dulu sebagian masih kebun tebu dan semak belukar,” ucap Martina Astuti, 54 tahun, Jumat, 3 Mei 2024 pagi.
Tuti, anggota kelompok perempuan petani Karisma itu memulai kisahnya kepada Wanaloka.com di sebuah gubug tani di tengah hamparan padi. Udaranya segar, sesekali bau walang sangit tercium. Terdengar suara gemericik air yang turun dari selokan Kalibawang ke sawah-sawah.
Ia sempat bekerja sebagai guru di Surabaya dan pulang pada 2008. Kemudian ia membantu ayahnya mengelola sawah tadah hujan.
Waktu itu, tanah milik desa masih banyak yang disewakan untuk ditanami tebu. Usai kontrak tak diperpanjang, tanah desa itu disewakan kepada warga sejak 2010.
Atas kesepakatan suaminya, Tuti menyewa tanah bersama bapaknya. Semula, harga sewa Rp1,5 juta per 1.000 meter persegi per tahun dan dua tahun lalu naik menjadi Rp1,75 juta. Tuti kini menggarap lebih dari 2.000 meter persegi.
Mengembalikan lahan bekas perkebunan tebu menjadi lahan sawah tak hanya butuh tenaga, tapi juga tekad besar. Lahannya kering, sisa-sisa batang dan akar tebu susah dicabut. Juga harus membersihkan hamparan bebatuan bekas akses jalan bagi truk pengangkut tebu. Alhasil ada seorang penyewa yang angkat tangan dan menyerahkan tanahnya kepada Tuti untuk digarap.
Tuti juga menyewa lahan yang masih penuh semak belukar dan duri, tak jauh dari sungai. Setidaknya butuh waktu satu bulan untuk membersihkan semua lahan itu dengan bantuan dua pekerja.
Lantaran mengolah tanah desa dan menjadi anggota kelompok tani, Tuti ikut mendapat bantuan pupuk dan bibit padi dari pemerintah. Ia sempat sekali menanam bibit itu dalam satu musim tanam.
“Awalnya Ciherang, terus IR 64. Kami menyebutnya padi hibrida. Waktu itu ya kami terima aja lah, ikut,” aku Tuti yang sempat .
Usai mendapat ilmu pola pertanian lestari, ia mengetahui bibit padi yang baik dari benih lokal. Dan untuk mendapatkannya tak perlu membeli, tetapi bisa menggunakan bibit lokal petani lain secara bergantian.
“Misalnya aku punya bibit Rojolele, ada petani lain minta. Ibaratnya nitip bibit. Nanti kalau aku butuh, gantian minta. Sesama petani begitu,” jelas Tuti.
Baca Juga: Iklim Genting, Perempuan Petani Kulon Progo Pontang Panting (Bagian 1)
Penggunaan bibit padi lokal adalah salah satu ciri pertanian lestari. Selain Rojolele, ia juga mencoba untuk menanam Pandanwangi, Mentik Susu, beras merah, beras hitam. Awal berpindah ke pertanian lestari, produk beras yang dihasilkan tak sebanyak saat menanam padi hibrida. Tuti bisa memanen 7 kuintal padi hibrida, tetapi padi lokal hanya 5 kuintal.
“Kalau orang nggak punya niat kuat (pindah ke pertanian lestari), mungkin males. Kan hasilnya jauh banget,” aku Tuti.
Produksi rendah karena lahan sawah rusak. Pupuk kimia yang sempat digunakan juga merusak nutrisi dalam tanah sehingga membuat tanah mengeras. Untuk menggemburkannya dengan cara dipupuk kimia lagi, lalu mengeras lagi. Akibatnya, lahannya bergantung dengan pupuk itu.
“Butuh dua tahun untuk memulihkan kesuburan tanah,” kata Tuti.
Untuk memulihkan kesuburan tanah, Tuti bersama suami dan anaknya mengusung berkarung-karung pupuk kandang untuk pupuk dasar. Ia membuatnya dari kotoran ayam, kambing, dan sapi yang diternaknya.
Usai panen, apabila jeraminya tidak diambil untuk pakan ternak, ia cukup memotong dan merobohkannya. Lalu diinjak hingga terendam dan membusuk dalam lahan sawah. Jadilah pupuk.
Begitu pula merang dari rontokan padi yang biasa dibakar petani. Tuti memilih untuk menaburkannya ke lahan yang sudah dibajak. Saat lahan digaru untuk diratakan sebelum ditanami, merang-merang itu sudah membusuk.
Batang dan daun padi serta merang mempunyai kandungan nitrogen yang tinggi. Bisa menjadi pengganti pupuk kimia seperti urea.
“Tanah jadi hitam, gembur, subur. Kalau ditanami, anakannya (padi) banyak,” kata Tuti.
Setelah dua pekan, lahan siap tanam dan diberi pupuk cair organik buatan sendiri. Bahannya dari daun, buah, bunga yang dicampur air dan tetes tebu, lalu didiamkan untuk proses fermentasi. Bahan-bahan itu bisa didapatkan dari sisa potongan sayuran yang tak dimasak.
“Kalau masak nasi, air berasnya juga bisa difermentasi. Dikasih tetes tebu, disimpan dua pekan, sudah jadi,” imbuh Tuti.
Salah satu alasan petani menggunakan pupuk kimia karena tergoda warna daun padi yang hijau tua, tetapi cepat kering. Sementara meskipun warna daun padi yang diberi pupuk organik hijau muda, justru menghijau lebih lama.
Sapi-sapi tetangga pun lebih suka jerami dari padi organik. Apalagi jeraminya lebih panjang. Usai panen, jerami padinya jadi rebutan peternak sapi.
“Aku njaluk, nggonmu kuwi enak eee, sapiku doyiiiin (aku minta, Jerami punyamu enak, sapiku doyan banget),” kata Tuti menirukan komentar peternak.
Saat padi berbunga, hama walang sangit adalah tantangan selanjutnya. Walang sangit akan menyesap tangkai bunga sehingga bulir padi pun gabug alias tak berisi. Ketimbang disemprot dengan pestisida, Tuti memilih untuk menanam tanaman berbau menyengat seperti bunga kenikir, serai di sekitar sawah.
“Pemerintah juga punya program menanam bunga warna ungu untuk ngusir walang. Sayangnya, pemerintah nggak mengawal petani biar berlanjut,” sesal Tuti yang juga anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Banjarasri.
Ketika biji-biji padi menua, tikus-tikus mulai mengincar. Sepetak sawahnya yang tengah ditanami padi hitam nyaris hilang separuh. Bahkan tikus sudah memakannya saat masih di persemaian.
“Sisanya cuma bisa ditanam di sepetak kecil sawah. Rencananya untuk (dijadikan) bibit lagi,” kata Tuti.
Selama dua kali musim tanam ini, serangan hama tikus lumayan parah. Tepatnya pada musim tanam (MT) 1 pada September atau Oktober 2023, MT 2 pada akhir Januari atau awal Februari 2024. Sedangkan MT 3 ditanam palawija pada Juni atau Juli hingga September.
Pihak Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Kulon Progo mengimbau untuk membasmi tikus dengan pertalite. Bahan bakar minyak itu dimasukkan ke dalam botol plastik yang dilubangi, lalu dimasukkan ke dalam lubang-lubang tikus.
“Yang ikut sosialisasi anakku. Di sawahku ada yang mati dua ekor,” kata Tuti.
Untuk menghalau tikus, Tuti pernah menggunakan umbi gadung yang dipotong, ditumbuk bersama ikan asin, lalu dikeringkan. Bau ikan asin akan mengundang nafsu makan tikus. Dan tikus akan mati keracunan setelah memakannya.
“Mau praktikkan lagi, tapi habis waktuku,” kata Tuti.
Sementara cara aman menurut Tuti adalah cukup membersihkan pematang dari rerumputan. Sebab tikus tak suka tinggal di tempat yang bersih. Lalu menanam lembayung untuk pengganti makanan sasaran tikus.
Sementara untuk menghadapi hama wereng batang cokelat adalah menyemprotkan tumbukan daun sirsak dicampur air pada tanaman. Ia pernah mempraktikkan saat menemukan wereng di dua rumpun padinya.
“Dan sejauh ini aman-aman saja,” tukas Tuti.
Setelah mengolah lahan tanah desa itu dua tahun lebih, kini hasilnya tak kalah dengan produk pertanian konvensional. Harga sekilo gabah kering untuk padi hibrida Rp4,5 ribu, sedangkan gabah padi lokal Rp7 ribu. Dalam sekali panen, Tuti bisa membawa pulang 9-10 kuintal beras.
“Dan kami lebih banyak iritnya, terutama pupuk,” kata Tuti.
Praktik pertanian lestari yang diterapkan Tuti tak serta merta membuat petani lain di dusunnya mengikuti caranya. Salah satu alasan mereka, karena ribet haru mengolah pupuk kandang, pupuk kompos, dan pupuk cair fermentasi. Belum lagi membawa pupuk kandang dalam jumlah banyak ke sawah membutuhkan tenaga dan waktu.
Ia berharap bisa mengajak perempuan petani di sana. Namun kebiasaan perempuan petani pergi ke sawah saat masa tanam atau menyiangi rumput saja. Tak semua mendapat dukungan suami atau keluarga untuk mengelola sawah lebih dari itu. Tak seperti Tuti yang ikut macul bersama suaminya.
“Kalau saya dan suami sejak awal sudah sepakat. Dan kami sama-sama suka bertani,” kata Tuti.
Kebetulan waktu untuk mengelola sawah lebih banyak dilakukan Tuti ketimbang suaminya yang seorang guru. Anak sulungnya yang mengurus ternak, sekaligus membantu di sawah.
‘Gagal’ mengajak perempuan tani menerapkan pertanian organik, Tuti mencoba untuk menerapkannya di lahan kering, yakni pekarangan atau kebun masing-masing. Apalagi tak semua orang punya lahan sawah.
“Saya dan Bu Herni sudah sepakat untuk menularkan (pola pertanian lestari) kepada siapapun. Nek iso (kalau bisa), kita mengurangi untuk membeli,” kata Tuti mengungkapkan kata kuncinya.
Maksudnya, mengurangi gaya hidup konsumtif agar bisa berhemat. Caranya dengan menanam dan beternak sehingga bisa memenuhi kebutuhan sayuran dan lauk dari pekarangan atau kebun. Apabila berlebih bisa dijual.
“Pekarangan itu jangan sampai nganggur,” kata Tuti.
Lestari dengan Sayur
Pohon-pohon cabai tumbuh di atas polybag yang disusun di dalam rumah benih. Bangunan dari galvalum dan berdinding kawat nyamuk itu adalah sisa-sisa semangat Yohana Suinem, 54 tahun memimpin Kelompok Wanita Tani (KWT) “Tuwuh” di Dusun Ngaliyan, Desa Gunung A, Kecamatan Samigaluh. Dibentuk pada 2016-2017, Yohana bisa mengumpulkan 30 orang anggota perempuan. Mereka menanam aneka sayuran di pekarangan dan kebun masing-masing.
“Pekarangan penuh sayuran. Kalau lebih saya jual,” kenang Yohana di kediamannya, Rabu, 1 Mei 2024 siang
Sayang, aktivitas bercocok tanam menyurut sejak pandemi Covid-19. Rumah benih terbengkalai. Namun pertemuan saban tanggal 13 masih diikuti beberapa anggota.
“Karena pandemi kan (aktivitas) harus dibatasi banget. Sampai sekarang mau bangun lagi masih susah. Pertemuan kadang masih ada, tapi untuk membangkitkan semangat ibu-ibu masih belum,” kata Yohana.
Motivasi awal menanam sayuran adalah untuk mengurangi pengeluaran. Selama ini, sayur mesti beli. Harga seikat kacang panjang Rp5.000, belum tomat, cabai, tempe, dan lainnya.
Pendapatan Yohana sebagai petugas koperasi simpan pinjam tak mencukupi. Waktu itu, dua anaknya masih kuliah. Belum lagi pengeluaran untuk projo atau kemasyarakatan, seperti hajatan tetangga, iuran, arisan.
Salah satu pilihan untuk berhemat, sekaligus menambah pemasukan adalah menanam sayuran. Mula-mula Yohana menanam cabai, sawi, selada untuk kebutuhan keluarga.
Baca Juga: Renungan 18 Tahun Gempa Bantul, Sesar Aktif di Pulau Jawa Terus Bertambah
Apabila berlebih, ia membagikan kepada tetangga sekitar. Sempat ada yang sangsi Yohana punya banyak sayuran.
“Ya duwe (punya), kan nanam,” ucap Yohana kala itu.
Mereka pun main ke rumah Yohana untuk melihat sendiri kebun sayurnya. Pelan-pelan, Yohana pun melakukan edukasi.
“Kalau mau, kita bareng-bareng nanam, lumayan ngurangi pengeluaran. Setiap butuh, sewaktu-waktu bisa metik di pekarangan sendiri,” papar Yohana.
Gayung bersambut. Mereka berkumpul dan membentuk KWT “Tuwuh”. Di kelompok ini pula, Yohana berbagi ilmu pertanian lestari yang didapatkan dari Karisma.
Selain mengurus tanaman di pekarangan masing-masing, anggota KWT juga bergantian piket di rumah benih sesuai jadwal yang disepakati. Mereka juga memanfaatkan tepian jalan lingkungan untuk bercocok tanam.
“Pernah sepanjang jalan itu dipasang rak-rak bambu diisi tanaman kangkung dalam polybag,” kenang Yohana.
Yohana sudah berhasil menjual sayurannya ke pasar. Pedagang kebab sangat berminat dengan selada airnya karena menggunakan pupuk organik.
Sekali tanam selada air bisa 2-3 kali panen pada bulan ketiga. Satu kilo selada air bisa dikumpulkan dari 8-10 polibag. Sekali setor tiga kilo dengan harga Rp15 ribu per kilogramnya. Bisnis selada itu ditekuninya selama satu tahun.
Sayuran lainnya yang dijual ada sawi cesim untuk kuah bakso, kacang panjang, buncis, dan cabai. Hasil kebun juga dijual kepada sesama anggota, atau dibawa ke pasar. Sementara hasil penjualan dari kelompok dibagi bersama.
Suaminya, Suswanto, 63 tahun, mendukung aktivitas istrinya. Bahkan keduanya bahu-membahu mengelola sawah dan pekarangan.
“Paling saya nyari tanah dan pupuk kandangnya, terus saya campur dengan perbandingan 1:1. Nanti ibu yang nanam,” kata Suswanto.
Untuk meramu pupuk organik cair (POC), Yohana mengumpulkan sayur dan buah yang hampir busuk dari pedagang pasar. Sayur dan buah itu dirajang kecil-kecil, dimasukkan ke dalam ember, lalu dicampur dengan air dan tetes tebu. Sebotol tetes tebu seharga Rp15 ribu bisa digunakan untuk membuat 20 liter POC yang difermentasi.
Yohana telah membuktikan ‘keajaiban’ POC. Pohon petainya yang tak kunjung berbunga bisa berbunga dan berbuah banyak setelah disiram POC.
“Petenya bagus-bagus. Punya saya sempat laku Rp25 ribu per ikat,” ucap Yohana girang.
Begitu pun dengan pohon durian yang belum sekalipun berbuah sejak ditanam pada 1991. Usai diguyur POC, berbuah pada Agustus-September 2023 lalu.
“Karena pohonnya di pinggir jalan, yang panen yang lewat,” lagi-lagi Yohana tertawa.
Discussion about this post