Wanaloka.com – Lima pemuda adat Poco Leok, yakni Kristianus Jaret, Maksimilianus Neter, Servasius Masyudi Onggal, Anus Sandur, dan Ferdiandus Parles telah dilaporkan Pemerintah Kabupaten Manggarai, NusaTenggara Timur ke Polres Manggarai pada 3 Maret 2025 (LP/B/77/III/2025/SPKT/RES MANGGARAI/POLDA NTT). Mereka dituduh melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP, Sub Pasal 406 KUHP, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atas dugaan perusakan gerbang kantor bupati saat aksi damai.
Berdasarkan fakta yang dikumpulkan Koalisi Advokasi Poco Leok, kerusakan itu terjadi diduga akibat aparat mendorong massa aksi secara brutal, hingga pagar besi roboh ke arah warga.
“Tidak ada unsur kesengajaan dari warga. Koalisi menduga, tuduhan pidana ini adalah rekayasa hukum untuk membungkam suara-suara kritis,” kata Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muh Jamil.
Baca juga: Murraya sumatrana, Tanaman Liar yang Jadi Penyebar Penyakit pada Jeruk
Pada 6 Maret 2025, Polres Manggarai memberi surat undangan klarifikasi atas peristiwa pengrusakan itu kepada Kristianus Jaret dan Maksimilianus Neter untuk hadir pada 7 Maret 2025. Surat undangan klarifikasi kedua diberikan untuk keduanya pada 10 Maret 2025, disertai surat undangan klarifikasi pertama untuk Servasius Masyudi Onggal.
Setelah mengirimkan surat undangan klarifikasi, Polres Manggarai mengirim surat panggilan sebagai saksi pada 15 Maret 2025. Dalam surat, Polres Manggarai meminta kehadiran Kristianus Jaret, Maksimilianus Neter dan Servasius Masyudi Onggal sebagai saksi pada 17 Maret 2025.
Undangan itu dipenuhi oleh Kristianus Jaret dan Maksimilianus Neter. Usai pemeriksaan, penyidik menitipkan surat panggilan untuk tiga orang yaitu Servasius Masyudi Onggal, Anus Sandur dan Ferdinandus Parles agar hadir ke Polres Manggarai pada 20 Maret 2025.
Baca juga: Anggota Komisi IV DPR Soroti Deretan Kasus Pagar Laut yang Tak Kunjung Usai
Dalam beberapa kali pemanggilan, Polres Manggarai bersikukuh agar para pemuda menghadiri pemeriksaan. Namun, terjadi beberapa kali kesalahan penulisan nama yang dilakukan Polres Manggarai yang menunjukkan ketidakprofesionalan aparat polisi dalam menerima aduan pemerintah Manggarai.
Pemanggilan itu juga terkesan dipaksakan karena tak ada peristiwa tindak pidana kesengajaan dari warga dan pemuda untuk merusak pagar.
“Seharusnya, polisi memanggil aparat polisi dan Satpol PP yang melakukan aksi dorong sehingga menyebabkan pagar roboh,” ucap Jamil.
Baca juga: Magma Erupsi Gunung Ruang 2024 Alami Dekompresi Setara Erupsi Gunung Vesuvius 79 Masehi
Selain itu, kriminalisasi terhadap para pemuda tersebut melanggar kebebasan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat di muka umum. Ini dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 Jo Pasal 2 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Menyampaikan Kemerdekaan menyampaikan pendapat di Muka Umum Jo Pasal 25 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR).
Kejanggalan lainnya pada undangan klarifikasi yang diterima para pemuda. Dalam mekanisme hukum acara pidana yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP.Lidik/121/III/2025/Satuan Reskrim tidak dikenal istilah ‘klarifikasi’ atau ‘undangan klarifikasi’.
Undangan tersebut juga bertentangan dengan prosedur pemanggilan berdasarkan hukum acara pidana yang layak, yaitu minimal tiga hari sebelum pemeriksaan berdasarkan Pasal 227 KUHAP. Koalisi menilai dari aspek hukum acara pidana, pemanggilan terhadap para warga dan pemuda adat merupakan proses hukum yang tidak sah.
Baca juga: TPA Benowo, Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik di Surabaya
Eksploitasi panas bumi sarat korban
Discussion about this post