Ia mengaku terinspirasi pendekatan visual dalam riset-riset antropologi, seperti metode photo voice dan banyak mendapat bekal ilmu melalui mata kuliah etnofotografi.
Baca juga: Dulu Penambang, Kini Berperan dalam Konservasi Kawasan Karst Gunung Sewu
“Saya merasa dunia antropologi dan foto jurnalistik itu saling menyempurnakan. Bukan sekadar data, visual juga bisa memperkuat cerita,” jelas dia.
Saat kuliah, ia meliput kegiatan prodi dan mengirimkan artikel serta foto ke media-media lokal. Tak disangka, tulisannya berhasil dimuat di media besar, yakni Kompas.
“Itu jadi pengalaman pertama saya dimuat di media nasional. Saya dapat honor dan merasa dunia ini menarik untuk digeluti,” kenang dia.
Baca juga: Hari Bumi, Aksi Tanam 9.000 Pohon Matoa di Halaman Ponpes Deli Serdang
Meski kini telah dikenal sebagai fotografer jurnalistik lepas yang karyanya tampil di berbagai media internasional, perjalanan Yudha tak selalu mulus. Pada awal karier, ia pernah mencoba pekerjaan fotografi komersial seperti foto wisuda. Hingga akhirnya menyadari bahwa panggilannya ada pada isu-isu kemanusiaan.
“Yang menang bukan foto wisuda saya, tapi justru foto ketika mendokumentasikan momen emosional klien foto saya yang mengunjungi neneknya yang sakit setelah wisuda. Dari situ saya sadar, saya ingin fokus pada sisi manusiawi dari fotografi,” tutur dia.
Ke depan, Yudha berharap bisa terus berkarya untuk membawa cerita-cerita dari pinggiran ke panggung global. Ia juga ingin memperkuat kolaborasi antara antropologi dan visual sebagai medium advokasi sosial.
“UGM sangat berperan dalam membentuk cara pandang saya terhadap dunia. Saya bersyukur bisa bertumbuh di lingkungan yang kaya perspektif dan nilai,” imbuh dia. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post