Kedua, Permohonan ini dinilai bentuk pengujian kepatuhan bagi PLTU untuk sejauh mana mereka melakukan pengukuran terhadap emisi yang dilakukan.
Baca juga: HKB 2025, Uji Publik Rancangan Peraturan BNPB di Mataram hingga Tanam Aren di Serdang Bedagai
Ketiga, permohonan ini juga bertalian dengan Putusan MA yang berkaitan dengan polusi udara Jakarta.
“Menteri LH sebagai Tergugat II diuji sejauh mana kualitas menteri dalam melaksanakan Putusan Pengadilan yaitu untuk menginventarisasi emisi lintas batas Provinsi Jakarta, Banten, dan Jawa Barat,” kata Alif.
Sementara Pengacara Publik LBH Yogyakarta, Danang Kurnia Awami yang juga merupakan kuasa hukum dari Pemohon melihat, bahwa warga di tapak yang berdampingan dengan PLTU sering menerima dampak dari PLTU. Warga sering kali tidak mengerti bagaimana proses PLTU dibangun, beroperasi, dan apa saja tanggung jawab PLTU terhadap masyarakat.
Baca juga: Rafflesia zollingeriana, Tumbuhan Langka yang Mekar untuk Diselamatkan
Warga selalu punya pendirian yang kokoh, yaitu penting mewujudkan hak atas lingkungan hidup. Ada dua aspek dari hak atas lingkungan hidup, yaitu hak atas informasi dan hak atas partisipasi. Jika tidak ada hak atas informasi, maka hak atas partisipasi sudah pasti tidak dapat terpenuhi dengan baik.
“Jadi informasi mengenai dokumen lingkungan yang dimintakan adalah penting sekali bagi warga tapak,” ucap Danang.
Menurut dia, upaya hari ini adalah langkah awal untuk membaca bagaimana dokumen lingkungan tersebut bekerja. Peran Igam sebagai peneliti dan akademisi dinilai penting, terkait keilmuannya untuk membaca secara komprehensif informasi ini. Harapannya, menjadi informasi yang dapat disalurkan kepada publik dan menunjukkan kesesuaian antara yang ada di dokumen dan yang ada dalam kenyataan.
Baca juga: Atasi Masalah Sampah, Kampus Libatkan Mahasiswa dan Pemerintah Ajak Tentara
“Ini menjadi ruang adanya partisipasi publik yang bermakna bagi publik. Persoalan polusi udara adalah masalah bersama, bahkan masalah anak-cucu kita nanti,” imbuh dia.
Persoalan polusi udara yang disebabkan PLTU telah lama menjadi ancaman bagi kesehatan warga dan kelestarian lingkungan. Jadi sudah selayaknya Pemerintah membuka ruang bagi warga untuk turut mengawasi pengelolaan PLTU dengan membuka akses informasi publik sehingga pengelolaan PLTU menjadi akuntabel dan transparan.
Menurut Pasal 22 ayat (7) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Pasal 34 ayat (3) Peraturan Komisi Informasi Pusat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik, informasi tersebut dapat diterima secara tertulis dalam bentuk salinan cetak (hard copy) atau salinan digital (soft copy) dengan jangka waktu 10 hari sejak permohonan diterima.
Menurut Alif, sudah selayaknya KLH memberi informasi yang diminta sebab informasi tersebut berkaitan dengan kepentingan publik. Informasi serupa juga pernah dimintakan dan telah menjadi Yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 985K/Pdt.Sus-KIP/2024 yang menyatakan bahwa informasi yang diminta bukan merupakan informasi yang dikecualikan. Melainkan informasi publik yang penting untuk menjamin hak-hak publik dalam konteks lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pemenuhan hak asasi manusia. [WLC02]
Discussion about this post