Wanaloka.com – Saat ini Indonesia sedang dalam kondisi darurat sampah. Pengelolaan sampah yang dilakukan hari ini, masih jauh dari kesempurnaan yang diharapkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Jika pengelolaan sampah tidak dilakukan dari sumber, maka yang terjadi adalah beban berat yang harus ditanggung bersama. Sementara tenaga dan dana yang ada sebenarnya bisa digunakan untuk yang lainnya.
“Jadi pengelolaan sampah dari sumbernya adalah upaya yang harus ditekankan,” tegas Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Hanif Faisol Nurofiq di di Makodam IX/Udayana, Denpasar, Bali, Kamis, 24 April 2025.
Baca juga: KKP Genjot Ekspor Ikan, Pakar Ingatkan Stok Ikan Laut Terdampak Perubahan Iklim
Jika tidak mengubah pola pengelolaan sampah, maka seluruh TPA di Indonesia diperkirakan akan penuh pada 2028. Bahkan di beberapa daerah seperti Sarbagita Bali, perkiraan ini sudah lebih dulu datang.
“Perlu adanya revolusi mental bersama dengan mengubah mindset, cara berpikir dan berperilaku dalam mengatasi persoalan sampah. Upaya perubahan perilaku menjadi kunci utama yang pada akhirnya melahirkan budaya dan kebiasaan untuk lebih bijak dalam mengelola sampah,” kata Hanif.
Sementara Presiden Prabowo Subianto dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional menargetkan penyelesaian 100 persen masalah sampah pada 2029.
Baca juga: Habis Kebocoran Gas, Terbitlah Semburan Lumpur Panas di Geothermal Sorik Marapi
343 TPA open dumping ditutup
Salah satu upaya penyelesesaian masalah sampah adalah menutup sebanyak 343 TPA terbuka (open dumping) di sejumlah wilayah di Tanah Air. Penutupan ini bukan sekadar memunculkan persoalan teknis pengelolaan sampah, namun kebijakan ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam tata kelola lingkungan yang menuntut kesiapan sistemik dari pemerintah daerah serta kesadaran kolektif masyarakat.
Dosen Teknik Kimia UGM sekaligus pemerhati pengelolaan lingkungan, Prof. Wiratni Budhijanto mengatakan penutupan TPA open dumping merupakan konsekuensi logis dari kondisi eksisting yang sudah jauh melampaui kapasitas desainnya. Secara prinsip, saat ini yang terjadi di seluruh daerah terdapat dua jenis sistem pengelolaan akhir sampah, yaitu open dumping dan sanitary landfill.
Dalam sistem open dumping, berarti sampah hanya ditumpuk begitu saja tanpa perlakuan lebih lanjut. Sedangkan pada sanitary landfill, setiap lapisan sampah harus diurug dengan tanah agar proses pembusukan berjalan lebih baik dan dampak lingkungannya dapat ditekan.
Baca juga: Agung Baskoro, Memotret Masyarakat Adat Halmahera yang Terpinggirkan Tambang Nikel
TPA di berbagai daerah semestinya mengadopsi sistem sanitary landfill. Realitanya, tidak selalu demikian.
“Karena sampah datang terus, pemerintah nggak bisa nunggu tanahnya ada atau bisa dibeli. Akhirnya, TPA yang seharusnya sanitary landfill jadi open dumping juga. Padahal ini jelas tidak boleh,” jelas dia.
Selain memperburuk bau dan estetika, sistem terbuka ini juga menyebabkan proses pembusukan yang sangat lambat, menciptakan gunungan sampah yang tak kunjung hilang. TPA Piyungan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalnya, sudah sejak lama menunjukkan tanda-tanda kritis. Selain volume yang jauh melebihi kapasitas rancangannya, keberadaan permukiman yang semakin mendekat ke kawasan TPA menambah risiko sosial dan kesehatan.
Baca juga: BMKG Lakukan Pengembangan Radar Cuaca Nonpolarimetrik
Kampus libatkan KKN mahasiswa
Keputusan untuk menutup TPA tersebut tidak bisa dilepaskan dari urgensi multidimensi, mulai dari teknis, ekologis, hingga sosial.
“Sejak lima atau sepuluh tahun lalu, sebetulnya TPA Piyungan itu sudah penuh. Dari aspek desain, lingkungan, dan sosial, memang sudah tidak layak lagi digunakan,” ungkap Wiratni.
Namun, di balik urgensi penutupan itu, Wiratni melihat momen ini sebagai peluang besar untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap sampah. Selama itu, keberadaan TPA justru memperkuat kebiasaan buruk membuang sampah tanpa pikir panjang.
Baca juga: Prodi Profesi Kurator Keanekaragaman Hayati UGM yang Pertama di Asia
“Kalau TPA ditutup, masyarakat jadi mikir. Buang sampah jadi susah, mulai introspeksi. Makan jangan sampai sisa, kemasan dikurangi, bawa tumbler sendiri. Ini mendidik,” ujar dia.
Di samping itu, kelebihan penutupan TPA open dumping juga diharapkan mendorong masyarakat untuk mulai memilah sampah, mengomposkan limbah organik di rumah, dan lebih sadar akan konsumsi sehari-hari.
Di sisi lain, kebijakan ini juga menguji kesiapan pemerintah daerah dalam menerapkan sistem desentralisasi pengelolaan sampah, dimana setiap kabupaten/kota bertanggung jawab atas pengelolaan sampahnya sendiri. Wiratni menggambarkan kondisi ini seperti melepas bayi ke jalan raya.
Baca juga: Dulu Penambang, Kini Berperan dalam Konservasi Kawasan Karst Gunung Sewu
“Kalau kabupaten dan kota belum siap, dilepas langsung ya panik. Tapi saya lihat semua daerah sekarang sedang berusaha keras menyikapi ini,” imbuh dia.
Desentralisasi yang ideal seharusnya dilakukan secara bertahap, disertai dukungan teknis dan pendampingan dari pemerintah provinsi maupun pusat. Terkait upaya sosialisasi dan edukasi, ia menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah sudah berusaha melakukan berbagai pendekatan, termasuk dengan melibatkan fasilitator di tingkat kelurahan untuk mengedukasi warga terkait pengelolaan sampah rumah tangga.
Namun, tantangan utamanya bukan pada kurangnya informasi, melainkan pada resistensi kebiasaan.
“Sampah itu selalu dianggap bukan tanggung jawab kita. Kita merasa punya hak untuk dilayani, bukan kewajiban untuk mengurangi. Mengubah paradigma seperti ini nggak gampang,” ujar dia.
Baca juga: Hari Bumi, Aksi Tanam 9.000 Pohon Matoa di Halaman Ponpes Deli Serdang
Itulah sebabnya, ia menilai keberhasilan kebijakan apapun tidak mungkin tercapai jika masyarakat tidak mengubah perilaku dasarnya.
Sebagai bagian dari upaya masif edukasi publik, saat ini UGM bersama sejumlah perguruan tinggi lain di Indonesia tengah merancang program Kuliah Kerja Nyata (KKN) bertema edukasi persampahan yang dilakukan secara serentak.
Para mahasiswa akan turun langsung ke masyarakat untuk melakukan edukasi dari rumah ke rumah, dengan pendekatan persuasif.
Baca juga: Sebanyak 114 Rumah Rusak Berat Terdampak Pergerakan Tanah di Brebes
“Semua kampus akan turunkan mahasiswa KKN untuk melakukan edukasi ke rumah-rumah. Ini supaya masyarakat bisa lebih sadar, seberapa besar sampah yang mereka hasilkan dan bagaimana mereka bisa mengurangi,” tutur dia.
Wiratni mengajak warga masyarakat dan pemda agar menjadikan momentum penutupan TPA open dumping ini sebagai titik balik perbaikan sistem dan budaya.
“Kalau masyarakatnya tidak mau berubah, kebijakan pemerintah sebagus apa pun akan sulit berhasil. Jangan cuma bisa nyalahin bau, nyalahin TPS, tapi nggak mau ubah kebiasaan. Ayo kita introspeksi. Sudah zero waste belum?” pungkas dia.
Baca juga: Pengesahan RUU Masyarakat Adat Penting di Tengah Konflik Masyarakat dan Negara
Discussion about this post