Wanaloka.com – Data Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) luas sawah nasional terus menurun, dari sekitar 8,1 juta hektare pada 2015 menjadi 7,4 juta hektare pada 2019. Laju konversi sawah pun tidak kecil, tercatat 60.000–80.000 hektare per tahun pada 2021. Bahkan penelitian lain menunjukkan mencapai 96.512 hektare per tahun pada periode 2000–2015.
Sementara luas lahan sawah yang hanya sekitar 7,4 juta hektare dinilai sangat kecil dibandingkan negara lain. Secara global, Indonesia berada di peringkat 130 dari 180 negara untuk ketersediaan lahan pertanian per kapita.
“Tren alih fungsi lahan sawah di Indonesia sudah pada tahap mengkhawatirkan. Situasi ini berdampak pada rendahnya Global Food Security Index kita,” kata Dekan Fakultas Pertanian (Faperta) IPB University, Prof. Suryo Wiyono saat menyampaikan dalam momentum Hari Tani Nasional, 24 September 2025.
Baca juga: BMKG Ingatkan Lagi Potensi Gempa Bumi Megathrust M8,8 di Pesisir Selatan DIY
Menurut Suryo, alih fungsi lahan terutama terjadi di wilayah subur seperti Pulau Jawa, Sumatra, dan Bali. Faktor utamanya adalah tekanan ekonomi.
“Jika nilai ekonomi lahan nonpertanian lebih tinggi, misalnya untuk perumahan atau industri, maka lahan sawah akan cepat terkonversi. Satu meter persegi tanah bisa bernilai miliaran rupiah, sementara hasil panen padi tidak sebanding,” jelas dia.
Dampaknya, ancaman terhadap ketahanan pangan pun menjadi sangat serius. Jika konversi mencapai 100 ribu hektare per tahun, maka dalam waktu 10 tahun Indonesia akan kehilangan satu juta hektare.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Rekomendasikan Pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria
“Padahal sawah kita hanya 7,3 juta hektare. Itu luar biasa dampaknya bagi pangan nasional,” ucap dia.
Strategi solutifnya ada tiga hal penting. Pertama, melindungi lahan subur di sentra produksi. Kedua, membuka area baru untuk pertanian. Ketiga, meningkatkan produktivitas lahan yang ada.
“Kita harus melihat Undang-Undang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nomor 41 Tahun 2009. Implementasinya perlu diperkuat dengan insentif ekonomi agar petani mau mempertahankan lahannya,” kata Suryo.
Baca juga: Hari Tani 2025, Ribuan Petani Desak Pemerintah Jalankan Reformasi Agraria Segera
Ia juga menekankan perlunya pengembangan tanaman bernilai ekonomi tinggi, seperti jamur pangan (edible) terutama di Pulau Jawa yang lahannya sempit namun subur. Tanaman hortikultura, cabai, atau rempah bisa menjadi pilihan. Pertanian pangan berkelanjutan harus sejalan dengan kesejahteraan petani.
Momentum Hari Tani Nasional seharusnya menjadi pengingat bersama bahwa melindungi lahan pertanian. Bukan hanya soal menjaga produksi pangan, tetapi juga menjaga masa depan generasi mendatang agar tetap memiliki akses pada pangan yang cukup, aman, dan terjangkau.
Ia menilai, tanpa komitmen serius dari pemerintah daerah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan, ancaman krisis pangan akan semakin nyata.
Baca juga: Titi Mangsa Dinilai Tak Relevan, Petani Gunungkidul Belajar Pahami Prediksi Iklim
“Alih fungsi lahan harus dipandang sebagai isu strategis. Jika dibiarkan, kedaulatan pangan akan semakin rapuh,” imbuh dia.
Lebih jauh, Suryo mengajak generasi muda untuk turut serta dalam menjaga dan mengembangkan sektor pertanian. Pertanian tidak hanya soal menanam padi, tetapi juga peluang besar untuk inovasi, teknologi, dan usaha agribisnis yang menjanjikan.
“Petani harus makmur agar pangan kita terjamin,” imbuh dia.
Baca juga: Diseminasi Liputan Kolaborasi Menyelamatkan Hutan Pulau Sipora
Tiga juta ha sawah belum dilindungi







Discussion about this post