Wanaloka.com – Anggota DPR RI, Yanuar Arif Wibowo menyesalkan sejumlah pernyataan pejabat pemerintah yang dinilai tidak empatik, bahkan justru memicu kemarahan publik di tengah tragedi banjir dan longsor besar yang melanda Sumatra dan Aceh. Ia meminta pemerintah, termasuk para menteri hingga Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) lebih berhati-hati dan sensitif dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat yang sedang berduka.
Yanuar menilai beberapa komentar pejabat terkesan defensif dan meremehkan skala bencana. Salah satu yang ia singgung adalah komentar sejumlah pejabat menanggapi banyaknya kayu gelondongan yang hanyut terbawa arus banjir dalam bencana tersebut
“Jangan defensif dengan statement yang membuat masyarakat marah. Ada (pejabat) yang bilang (akar pohonnya) tercabut karena hujan deras, tercabut karena nggak ada akarnya. Ini kan membuat orang bertanya dan marah,” ungkap Yanuar dalam forum diskusi bertajuk “Refleksi Akhir Tahun: Membangun Solidaritas Bersama di Tengah Bencana” yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bersama Biro Pemberitaan Parlemen DPR RI, di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, 2 Desember 2025.
Ia juga menyoroti pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto yang sebelumnya mengatakan kondisi di lapangan tidak semencekam yang terlihat di media sosial. Komentar tersebut dinilai tidak menunjukkan empati saat ratusan warga kehilangan nyawa.
Baca juga: Hatma Suryatmojo, Banjir Bandang Sumatra Akibat Akumulasi Dosa Ekologis di Hulu DAS
“Masa iya, 700 meninggal dunia dianggap biasa-biasa saja? Menurut saya enggak (etis). Ini anak bangsa,” tegas Yanuar.
Politisi Fraksi PKS tersebut turut mengungkap laporan dari Aceh mengenai dua desa yang hilang akibat banjir dan longsor. Seharusnya menjadi alarm serius agar pejabat lebih berhati-hati dalam menarasikan kondisi lapangan.
“Jangan sampai pejabat publik malah membuat statement yang memicu amarah, apalagi ketika bicara soal kehilangan jiwa dan harta benda yang tidak sedikit,” ujar Mantan Anggota Komisi V DPR RI ini.
Komunikasi pejabat publik saat krisis harus memberi keteduhan, bukan memancing kemarahan. Relawan dan korban membutuhkan rasa diperhatikan, bukan cemoohan atau narasi yang mendiskon kenyataan di lapangan. Ia menilai momentum bencana ini harus menjadi refleksi bagi pemerintah dalam memperbaiki komunikasi kebencanaan.
“Seluruh pejabat di republik ini harus berbenah. Komunikasi para pejabat dalam situasi seperti ini juga harus berbenah,” tegas dia.
Baca juga: Kerugian Bencana Ekologis Sumatra Rp68,67 Triliun, Tak Sebanding Sumbangan dari Tambang dan Sawit
Yanuar turut mengingatkan bencana besar yang terus berulang setiap akhir tahun harus menjadi pelajaran bagi pemerintah. Kondisi alam Indonesia kini menunjukkan pola yang semakin ekstrem dan menuntut kebijakan yang lebih bijaksana, termasuk kesiapsiagaan mitigasi.
Di sisi lain, ia meminta pemerintah pusat memberikan perhatian ekstra terhadap daerah terdampak, terutama karena kondisi fiskal banyak pemerintah daerah saat ini sangat tertekan.
“Keterbatasan beban yang ditanggung gubernur dan bupati itu nyata. APBD mereka tidak sanggup. Jadi kalaupun belum ditetapkan sebagai bencana nasional, saya berharap pemerintah pusat punya perhatian lebih terhadap saudara-saudara kita yang sedang dilanda bencana,” kata dia.
Yanuar juga menyoroti lambatnya respons pemerintah terhadap bencana di Sumatra. Ia menilai koordinasi antar-lembaga masih lemah, terutama pada masa golden time.
“Basarnas harus bergerak cepat, tapi sering terhambat proses perizinan anggaran. Begitu izin turun, masa tanggap darurat sudah lewat,” ujar dia.
Baca juga: Update Bencana Sumatra, Korban Tewas 442 Orang Terbanyak di Sumut
Ia mendorong pemerintah memperkuat mitigasi dengan menempatkan alat berat dan kesiapsiagaan sejak awal.
“Jangan menunggu korban jatuh baru bergerak. Mitigasi yang baik bisa mencegah kerusakan,” tegas dia.
Peringatan dini sehari sebelum bencana
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengingatkan peningkatan potensi kemunculan siklon tropis di wilayah selatan Indonesia. Pemantauan atmosfer menunjukkan bibit siklon dapat terbentuk pada periode November 2025 hingga Februari 2026 di sejumlah perairan rawan.
Risiko ini dinilai perlu mendapat perhatian publik mengingat eskalasi cuaca ekstrem yang terjadi belakangan ini. Seperti bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November lalu. Situasi tersebut menuntut langkah antisipatif yang lebih kuat dari pemerintah dan masyarakat.
“Kami sudah mengeluarkan peringatan dini beberapa hari sebelumnya,” ungkap Kepala BMKG sekaligus Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Prof. Teuku Faisal Fathani dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi V DPR RI, Senin, 1 Desember 2025.
Baca juga: Tiga Provinsi Sumatra Kewalahan, Akademisi dan Masyarakat Sipil Desak Status Bencana Nasional
Informasi tersebut telah disampaikan kepada pemerintah daerah, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk mengakselerasi respons lapangan. Sejumlah kepala daerah langsung menginformasikan potensi bahaya kepada warganya lewat kanal komunikasi masing-masing.
“Ini terus kami perbarui setiap dua hari karena melihat potensi cuaca ekstrem di tiga wilayah tersebut,” aku dia.
Faisal menjelaskan anomali atmosfer global membuat pembentukan bibit siklon semakin mungkin terjadi di Indonesia. Fenomena La Niña, El Niño, Indian Ocean Dipole, hingga seruakan dingin dari Siberia memperkuat ketidakstabilan cuaca. Perubahan pola ini menyebabkan wilayah tropis yang historisnya jarang terdampak siklon, kini menghadapi risiko lebih tinggi.
“Inilah yang memicu pertumbuhan siklon-siklon baru di kawasan Indonesia,” ujar dia.






Discussion about this post