ST tercatat sebagai Direktur Hubungan Eksternal PT Trimegah Bangun Persada Tbk, anak perusahaan Harita Group. Selain itu, ST juga menjabat sebagai Komisaris di PT Gane Tambang Sentosa yang juga merupakan anak perusahaan Harita Group.
Dalam operasionalnya, perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group tercatat mencaplok lahan-lahan warga, mencemari sumber air dan perairan laut, melakukan intimidasi dan kekerasan serta kriminalisasi terhadap warga. Bahkan warga mengalami gangguan kesehatan akibat operasi pembangkit listrik tenaga batubara di kawasan industri Harita.
Penetapan ST sebagai tersangka diduga karena telah melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada AGK. Yakni untuk kepentingan pembangunan jalan tambang milik Harita Group di Pulau Obi, Halmahera Selatan.
Baca Juga: Status Gunung Raung Naik Jadi Waspada, Jauhi 3 Kilometer dari Kawah
Dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan AGK dan ST menunjukkan pratik pengelolaan pertambangan di Maluku Utara yang penuh dengan transaksional. Elit politik lokal dan pengusaha tambang justru bersekongkol, mengeruk kekayaan tambang untuk kepentingan diri dan kelompok.
Praktik korupsi di sektor pertambangan ini diduga tidak hanya terkait antara AGK dengan petinggi Harita. Melainkan juga diduga dengan perusahaan-perusahaan tambang lainnya, yang izinnya diterbitkan selama AGK menjabat sebagai gubernur.
“Kami melihat proses hukum terhadap AGK cs mestinya tidak hanya berkutat pada korupsi lelang jabatan dan proyek pengadaan barang dan jasa semata. Juga harus menyasar praktik korupsi di sektor pertambangan yang telah lama mengendap tanpa penegakan hukum,” tegas Kepala Divisi Hukum & Kebijakan Jatam, Muh Jamil,
Baca Juga: Jawa dan Nusa Tenggara Diprediksi Hujan Lagi Mulai 23 Desember 2023
Proses hukum atas AGK dan para tersangka lainnya juga mesti menjangkau aspek kerugian negara, termasuk yang dialami warga, tempat di mana perusahaan-perusahaan beroperasi. Salah satunya terkait rencana operasi perusahaan tambang nikel PT Priven Lestari. Konsesi perusahaan yang mencapai hampir 5000 hektare ini, mencaplok lahan dan mengancam saru-satunya sumber air warga di Kecamatan Buli, Halmahera Timur.
Konsesi perusahaan ini juga berada di kawasan hutan. Rencana penambangan yang berlangsung di tengah derasnya penolakan warga ini, sarat dengan politik transaksional.
“Salah satu indikasinya melalui otak-atik RTRW Halmahera Timur untuk mengalokasikan ruang tambang di ruang hidup warga,” imbuh Jami. [WLC02]
Sumber: Jatam
Discussion about this post