Senin, 29 Desember 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Atasi Banjir Bandang dengan Memperbanyak Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan

Berkurangnya hutan yang berubah menjadi area terbangun membuat air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan daripada masuk ke dalam tanah.

Rabu, 17 September 2025
A A
Banjir bandang Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Foto tangkap layar visual BNPB.

Banjir bandang Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Foto tangkap layar visual BNPB.

Share on FacebookShare on Twitter

BMKG memprediksi musim hujan akan datang lebih awal dibanding kondisi normal. Bahkan sebagian wilayah Indonesia mulai memasuki musim hujan sejak Agustus dan akan meluas pada September–November. Kondisi ini berpotensi meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan angin kencang.

Baca juga: Pabrik PMT Disegel karena Ekspor Udang Beku Terkontaminasi Cesium, Ini Kata Pakar

Menanggapi prediksi BMKG tersebut, Pakar Hidrologi dan Pengelolaan DAS Fakultas Kehutanan UGM, Hatma Suryatmojo menekankan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah menghadapi perubahan pola musim.

Ia menekankan perlunya mitigasi struktural maupun non-struktural. Infrastruktur pengendali banjir seperti kolam retensi, normalisasi sungai, serta perbaikan drainase kota harus dipercepat.

“Di daerah rawan longsor, pembangunan terasering dan penahan tanah perlu dilakukan. Selain itu, solusi berbasis alam seperti reboisasi hulu DAS dinilai penting untuk jangka panjang,” ujar Hatma, Selasa, 16 September 2025.

Baca juga: Belajar Konsisten Menjaga Hutan dari Masyarakat Adat

Mayong, demikian ia akrab disapa, menuturkan datangnya musim hujan lebih awal ini, tidak lepas dari  adanya El Niño–Southern Oscillation (ENSO) dalam kondisi netral pada bulan Agustus lalu, tetapi Indian Ocean Dipole (IOD) tercatat negatif, sehingga Samudra Hindia menyuplai uap air ekstra ke wilayah Indonesia bagian barat.

Ditambah suhu muka laut lebih hangat sekitar 0,42°C di atas rata-rata, memicu pembentukan awan hujan lebih intens.

Disamping itu, perubahan iklim global juga berperan memperkuat intensitas hujan dan membuat pola musim semakin sulit diprediksi. Data menunjukkan 294 zona musim atau sekitar 42% wilayah Indonesia mengalami awal musim hujan yang maju dari normalnya.

Baca juga: Tumpukan Sampah dan Krisis Tutupan Hutan Perparah Banjir di Bali

Menurut dia, tantangan terbesar dari musim hujan yang lebih awal adalah meningkatnya risiko banjir bandang dan tanah longsor. Hal itu dipicu dampak deforestasi dan degradasi lahan di banyak DAS membuat banjir dan longsor lebih parah.

“Secara alami, hutan dan vegetasi menyerap air hujan dan mengurangi erosi, namun jika tutupan hutan berkurang, air hujan langsung terbuang sebagai aliran permukaan,” jelas dia.

Di sisi lain, ia juga menyoroti pentingnya riset, teknologi, dan kolaborasi lintas sektor. Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) oleh BMKG untuk meningkatkan akurasi prakiraan musim hujan hingga level kabupaten dinilai sebagai langkah positif. Peta kerentanan berbasis GIS juga dapat membantu pemda dalam mengenali titik kritis bencana.

Baca juga: Musim Penghujan 2025-2026 Datang Lebih Cepat

“Dengan kolaborasi yang kuat dan kesadaran masyarakat yang tinggi, diharapkan dampak bencana hidrometeorologi dapat diminimalkan,” tutur dia.

Ia juga berharap agar pemerintah menjadikan adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana sebagai arus utama pembangunan. Penguatan regulasi lingkungan, tata ruang yang ketat, serta investasi pada infrastruktur hijau perlu diprioritaskan.

Sebab kesiapsiagaan nasional tak akan berhasil tanpa kesadaran publik yang tinggi. Masyarakat perlu memahami bahwa pola iklim kini berbeda dibanding dulu, sehingga kesiapan mental dan sikap adaptif sangat penting. Edukasi perubahan iklim harus digencarkan, mulai dari sekolah hingga kelompok tani, agar publik mengerti langkah apa yang harus diambil ketika tanda-tanda cuaca ekstrem muncul. [WLC02]

Sumber: UGM

Terkait

Page 2 of 2
Prev12
Tags: Banjir BandangBencana HidrometeorologiBMKGruang terbuka hijau

Editor

Next Post
Aksi Draw the Line di Pantai Parangtritis, Bantul, DIY, 13 September 2025. Foto Hooma Creative/350.org

Seruan Aksi Iklim di 35 Kota di Indonesia dan 97 Negara Jelang KTT Iklim Brasil

Discussion about this post

TERKINI

  • Dua dari empat orangutan korban perdagangan ilegal yang dipulangkan dari Thailand, 23 Desember 2025. Foto Geopix.Empat Orangutan Dipulangkan ke Indonesia di Tengah Perusakan Hutan Sumatra
    In News
    Kamis, 25 Desember 2025
  • Konferensi Pers Climate Outlook 2026 di BMKG, 23 Desember 2025. Foto BMKG.Hasil Permodelan Kecerdasan Buatan, Iklim 2026 Bersifat Normal
    In News
    Rabu, 24 Desember 2025
  • Empat nelayan Pulau Pari yang menggugat Holcim demi keadilan iklim. Foto Walhi.Pengadilan Swiss Terima Gugatan Iklim Nelayan Indonesia Atas Holcim
    In News
    Selasa, 23 Desember 2025
  • Siklon tropis Grant, 23 Desember 2025. Foto BMKG.Waspada Gelombang Tinggi di Pesisir Selatan Akibat Siklon Tropis Grant
    In News
    Selasa, 23 Desember 2025
  • Ketua DPR RI, Puan Maharani. Foto Karisma/Istimewa.Puan Maharani Ajak Perempuan Pastikan Bumi Jadi Rumah Aman Bagi Generasi Masa Depan
    In Sosok
    Senin, 22 Desember 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media