Wanaloka.com – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengutuk keras pembongkaran secara paksa warung-warung para pedagang dan tempat bermukin warga di Tanjung Aan, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat dengan dalih pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika.
Pembongkaran dilakukan pihak PT Injourney Tourism Development Centre (ITDC) yang dikawal 700 aparat gabungan dari TNI, Polri, Pol PP dan preman bayaran ITDC, Selasa, 15 Juli 2025.
Ella Nurlaela, warga Pantai Aan menyebutkan penggusuran dilakukan sejak pukul 08.00 WITA dengan tiga target lokasi penggusuran, yakni Warung Tengah, Batu Kotak, dan Marese. Sehari sebelumnya, Senin, 14 Juli 2025, terdapat enam warung warga dari total 186 warung yang telah dibongkar secara mandiri. Lantaran warga tidak sanggup menghadapi intimidasi yang diterima dari pihak vanguard atau petugas keamanan perusahaan.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Mendesak UU Kehutanan Lama Dicabut, Diganti UU Kehutanan Baru yang Adil
Tindakan ini dilakukan dengan dalih “klaim” Hak Pengelolaan Lahan (HPL) telah dikantongi PT ITDC. Diikuti pengerahan preman yang terus-menerus mengintimidasi warga selama sebulan terakhir.
Ironisnya, tindakan sepihak ITDC ini mendapat dukungan dari Kapolres Loteng yang menyatakanm asyarakat atau pihak mana pun tidak boleh menghalangi pengosongan lahan untuk pembangunan, dianggap perbuatan melawan hukum.
Padahal, 18-20 Juni lalu, Komnas Perempuan dan Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) telah berjanji akan mendukung perjuangan warga Pantai Aan. Mereka bersurat pada Kementerian BUMN agar mengevaluasi ulang pelaksanaan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Alih-alih menghormati teguran tersebut, PT ITDC seakan kebal hukum dan terus melakukan tindakan perampasan tanah masyarakat.
Baca juga: Antisipasi Cuaca Ekstrem, Petani Butuh Prediksi Detail Cuaca Masa Depan hingga Level Lahan
Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika mendesak ITDC segera menghentikan upaya pembongkaran. Dan mendesak gabungan aparat keamanan segera menarik diri dari lapangan. Sebab pembongkaran yang dilakukan adalah perampasan tanah rakyat dengan dalih pembangunan, alih-alih pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.
“PT ITDC lah yang melanggar hukum, sebab mengabaikan hak-hak konstitusional masyarakat yang dijamin Konstitusi dan UUPA 1960. Pada setiap prosesnya, pembangunan KEK Mandalika dijalankan dengan proses tertutup, manipulatif dan intimidatif kepada warga setempat sehingga menyababkan konflik agraria dan perampasan tanah,” papar Dewi dalam siaran tertulis, Selasa, 15 Juli 2025
Tidak ada konsultasi dan partisipasi yang bermakna serta transparan yang dilakukan pihak ITDC, pemda dan kantor pertanahan. Apalagi consent (persetujuan) warga terhadap eksekusi proyek. Baik sejak rencana pembangunan, pengadaan tanah, ganti kerugian hingga upaya pengusiran terkini di Tanjung Aan melalui “vanguard”.
Baca juga: Empat Rekomendasi Bagi Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat
“Hadirnya vanguard ini menunjukkan pemerintah Indonesia dan ITDC lepas tangan, membiarkan hak-hak rakyat digadaikan dan dihadapkan pada kelompok swasta yang tidak punya otoritas apa pun untuk melakukan land clearing,” tegas Dewi.







Discussion about this post