Wanaloka.com – Senin, 5 Mei 2025, Badan Narkotika Nasional melakukan rapat kerja dengan Komisi III DPR di Senayan, Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan dari Fraksi Partai Demokrat mengingatkan kembali anggota parlemen dan BNN tentang Pika yang meninggal dunia sembari menunggu hasil riset ganja medis.
“Sejauh mana komunikasi BNN dengan Kementerian Kesehatan terkait dengan rencana penelitian ganja medis ini?” tanya Hinca.
Kepala BNN, Martinus Hukom menjelaskan, bahwa pihaknya akan melakukan penelitian di laboratorium forensik BNN yang diklaimnya cukup terbaik di Asia Tenggara.
Baca juga: Proyek Panas Bumi di NTT Ditolak Warga, Kementerian ESDM Gandeng UGM
“Jadi kami akan melakukan itu sebagai kewajiban konstitusional,” kata Martinus.
Pernyataan ini dilanjutkan dengan kesediaan BNN untuk bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Kesehatan. Atas pernyataan BNN tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) turut mendukung riset pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis.
“Apresiasi ini kami sampaikan sebagai salah satu lembaga yang selama ini mendukung adanya riset tentang pemanfaatan narkotika yang partisipatif, akademik, dan sesuai dengan standar-standar internasional,” kata Direktur LBHM, Albert Wirya melalui siaran pers yang diterima Wanaloka.com, Selasa, 6 Mei 2025.
Baca juga: Masih Satu Juta Kubik Abu Gunung Marapi, Kementerian PU Bangun 9 Sabo Dam
Lima rekomendasi LBHM
Ada beberapa poin yang menjadi perhatian dan rekomendasi LBHM untuk memastikan bahwa riset ini betul-betul membawa kejernihan dalam memandang ganja dan narkotika lainnya.
Pertama, riset medis tidak boleh terjebak hanya mengukur kadar toksisitas dari kandungan ganja, tetapi kegunaan ganja baik untuk mengobati penyakit dan meredakan rasa sakit.
Uji materi terhadap ganja medis yang dilayangkan koalisi pada 2022 berisi argument, bahwa ganja dapat membantu orang dengan cerebral palsy untuk meredakan sakit kronis yang dialaminya. Meskipun bukan menghilangkan penyebab utama dari gangguan kesehatan tersebut.
Baca juga: Madu Klanceng Lebih Aman Bagi Penderita Diabetes
Efek ganja yang bersifat analgesik ini menunjukkan, meskipun ganja bukanlah ‘peluru perak’ untuk mengobati suatu penyakit, ganja memiliki potensi untuk meredakan gejala yang menyulitkan seseorang hidup sehari-hari.
“Sebab pengurangan penderitaan akibat pengobatan menggunakan ganja dapat membantu seseorang untuk hidup secara bermartabat, sehingga bisa menjalankan aktivitasnya tanpa rasa sakit,” papar Albert.
Dengan melihat dampak ganja secara menyeluruh dan bukan hanya terjebak dalam melihat toksisitas ganja, masyarakat akan terinformasi secara berimbang tentang apa manfaat medis penggunaan ganja. Bahkan mengerti bahwa ganja bisa berpotensi menyembuhkan atau menjadi anestesi yang bisa dimanfaatkan perseorangan meredakan gejalanya.
Baca juga: Apa Rahasia Seduhan Kopi Tubruk Terasa Lebih Nendang?
Kedua, pemerintah harus membuka keterlibatan publik yang bermakna dalam riset ini.
Ia menilai, bukan hanya BRIN dan Kementerian Kesehatan yang memiliki kompetensi dalam menjalankan riset ini. Melainkan juga masyarakat sipil, khususnya akademisi di bidang medis dan farmakologi yang selama ini memang sudah lama menaruh perhatian pada isu-isu narkotika.
Selain itu, penelitian ini juga perlu untuk melibatkan orang-orang yang selama ini sudah terdampak kebijakan pelarangan ganja untuk kepentingan medis. Bahkan sampai harus dipenjara karena ingin menjadi sehat. Seperti yang pernah menimpa keluarga almarhum Pika maupun Fidelis Arie yang dipenjara karena menanam ganja untuk menyembuhkan penyakit Syringomyelia yang diderita istrinya.
Discussion about this post