Wanaloka.com – Di tengah rencana Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mencampur bensin dengan 10 persen etanol dan solar dengan 40 persen biodiesel yang membuat publik was-was, muncullah Bobibos. Produk bahan bakar nabati dari Jerami ini diklaim beremisi sangat rendah dan angka oktan tinggi setara RON 98. Klaim itu disampaikan tim penemu saat peluncuran publik dan diunggah ke media sosial.
Dosen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Leopold Oscar Nelwan ikut menyoroti berkembangnya isu pemanfaatan jerami sebagai bahan bakar alternatif. Menurut dia, informasi terkait isu teknologi tersebut masih sangat terbatas. Namun, beberapa sumber memberi petunjuk bahwa jerami diperlakukan sebagai biomassa lignoselulosa dalam proses konversinya.
“Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan, yang dimaksud dengan bahan bakar adalah hidrokarbon, bukan etanol atau biodiesel. Sebab hanya hidrokarbon yang memenuhi standar komersial apabila dipasarkan secara murni untuk engine,” ujar Leopold.
Baca juga: Kasus Gigitan Ular Meningkat, Pakar UGM Baru Teliti Karakterisasi Bisa Kobra Jawa
Hidrokarbon merupakan senyawa yang tersusun dari karbon dan hydrogen. Umumnya diklasifikasikan menjadi paraffin, isoparaffin, olefin, dan aromatik. Jumlah karbon menentukan sifat fisik dan penggunaan bahan bakar tersebut, misalnya bensin berada pada rentang C5–C12 dan solar pada C12–C20.
Lebih lanjut, ia menerangkan, terdapat banyak jalur konversi biomassa lignoselulosa menjadi hidrokarbon, meski sebagian besar masih pada tahap penelitian.
Beberapa jalur populer yang disebutkan meliputi proses termokimia seperti gasifikasi yang dilanjutkan dengan sintesis Fischer–Tropsch (FT). Juga pirolisis cepat yang menghasilkan bio-oil yang dilanjutkan melalui proses hydrotreating.
Baca juga: Jalankan Lima Fungsi Utama, Kebun Raya Indrokilo dan Banua Dapat Penghargaan
Selain itu, konversi melalui hidrolisis monosakarida, baik direct sugar to hydrocarbon conversion (DSHC) maupun via etanol dengan mekanisme alcohol to hydrocarbon.
“Dari seluruh proses tersebut, yang paling mendekati tahap komersialisasi adalah gasifikasi dan FT. Prinsipnya telah diterapkan pada konversi batu bara,” jelas dia.
Leopold mengurai bahwa banyak tahapan proses konversi, baik dari proses termokimia maupun melalui hidrolisis monosakarida memerlukan katalis khusus serta kondisi operasi bersuhu dan bertekanan tinggi. Biaya konversi (energi), masih menjadi tantangan besar.
Baca juga: Kadar Air Dalam Tanah Picu Longsor di Cilacap, Waspada Hujan Lebat 19-22 November 2025
Beberapa literatur menyebutkan biaya menghasilkan satu liter bahan bakar melalui proses FT dari batu bara mencapai 0,8–1,6 USD. Bahkan biaya prosesnya bisa lebih dari empat kali harga batu baranya.
Meski demikian, konsep konversi limbah biomassa menjadi bahan bakar merupakan bagian dari biofuel generasi kedua yang mendukung keberlanjutan. Namun, tetap saja teknologi tersebut belum luas diterapkan karena investasi dan biaya proses yang tinggi.
Klaim biaya produksi rendah perlu dihitung kembali, termasuk faktor energi dan investasi. Ia menyimpulkan teknologi ini berpotensi meningkat kelayakannya atau bisa bersaing apabila harga bahan bakar fosil naik atau dibatasi.
Baca juga: Tuntut Air Bersih dan Listrik, Warga Kawasi Boikot Jalur Produksi Perusahaan Nikel
Harus dibuktikan lewat uji coba
Terkait Bobibos, Anggota Komisi XII DPR RI Ramson Siagian mengatakan Komisi XII akan mengikuti perkembangan terkait kemunculan inovasi “BBM” yang belakangan menjadi perbincangan hangat publik. Komisi XII membuka ruang bagi setiap inovasi, tetapi seluruh klaim harus dibuktikan melalui mekanisme pengujian resmi yang diakui negara.







Discussion about this post