Wanaloka.com – Tiga kali putaran Debat Pilpres 2024 telah dilakukan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilaai belum ada kandidat yang memperlihatkan gagasan dan komitmen atas perlindungan dan pemulihan lingkungan di Indonesia. Ketiga pasangan capres dan cawapres secara gamblang menunjukkan keberpihakan pada paradigma ekonomi yang bertumpu pada sektor ekstraktif, seperti perkebunan dan pertambangan.
“Model ekonomi ekstraktif yang ditopang kebijakan politik menjadi sumber berbagai kerusakan lingkungan, krisis iklim dan konflik sosial di berbagai tempat di Indonesia,” kata Eksekutif Nasional (Eknas) Walhi, Uli Arta Siagian dalam Catatan Akhir Tahun Walhi Nasional dan Walhi Region Sumatera tertanggal 15 Januari 2024.
Selama kurang lebih 10 tahun terakhir, kewenangan kekuasaan tidak digunakan untuk kesejahteraan rakyat dan perlindungan lingkungan hidup. Kekuasaan justru dipergunakan untuk alat mengotak-atik regulasi yang memberi kelonggaran bagi investasi dan kegiatan usaha ekstraktif.
Baca Juga: Potensi Bahaya Tinggi, Perlu Susun Pedoman Teknis K3 Sektor Migas
Sementara instrumen hukum dipergunakan sebagai alat menindas bagi mereka yang berjuang untuk lingkungan. Sebaliknya, hukum memberikan impunitas bagi pelaku kejahatan lingkungan.
Otoritas pemegang kekuasaan juga menerbitkan atau merevisi berbagai peraturan guna memastikan kemudahan investasi dengan melemahkan instrumen lingkungan hidup dan penegakan hukum. Beberapa peraturan tersebut antara lain UU Cipta Kerja, revisi UU Mineral dan Batu Bara, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Ibu Kota Negara, Kitab UU Hukum Pidana (KUHP).
Pada akhir 2023 lalu, Presiden Joko Widodo memberikan kado buruk melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional. Lewat perpres ini, pemerintah bermaksud mempercepat proses perampasan tanah rakyat demi menggenjot pembangunan berbagai proyek strategis nasional (PSN).
Baca Juga: Medan Zoo Kesulitan Operasional, BKSDA Sumut Utamakan Keselamatan Satwa
Dalam dua periode rezim pemerintahannya, Jokowi menutup ruang partisipasi publik dalam fase pembentukan undang-undang, mulai dari perencanaan, pembahasan hingga penetapan. Gelombang protes atas berbagai produk kebijakan yang berdampak buruk pada rakyat dan lingkungan justru direspon dengan represi dan kriminalisasi.
Walhi mencatat sepanjang rezim Jokowi, sebanyak 827 warga negara mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Terhitung 145 orang ditangkap, 28 orang tersangka, 620 orang mengalami luka-luka akibat kekerasan aparat, dan 6 orang meninggal dunia.
Bukan hanya kriminalisasi dan kekerasan yang dialami rakyat, krisis politik menyebabkan bencana ekologis serta krisis iklim. Walhi mencatat dari tahun 2015 hingga 2022, Indonesia mengalami puluhan ribu bencana yang 90 persen di antaranya merupakan bencana ekologis. Alih-alih menangani krisis iklim dengan mengurangi secara drastis pelepasan emisi, pemerintah justru menyelenggarakan serangkaian solusi palsu penanganan iklim seperti perdagangan karbon, Carbon Capture Storage (CCS), hilirisasi nikel dan program transisi palsu energi lainnya.
Baca Juga: Kapan Indonesia Melarang Anjing dan Kucing Dijual dan Dikonsumsi?
Eksploitasi Pulau Sumatera
Krisis ekologis juga mengancam keselamatan rakyat di Sumatera. Walhi mencatat Pulau Sumatera telah dibebani izin Hak Guna Usaha (HGU) sawit seluas 2.326.417 hektare. Sedangkan luasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mencapai 2.434.661 hektare. Luas izin di sektor kehutanan mencapai 5.670.700 hektare.
Eksploitasi Pulau Sumatera mengakibatkan hutan seluas 119.626 hektare mengalami deforestasi dan setidaknya seluas 141.522 hektare hutan dan lahan gambut di Sumatera terbakar sepanjang 2023. Bukan hanya karhutla, tetapi juga bencana ekologis, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), konflik agraria, proyek-proyek strategis nasional serta kriminalisasi rakyat.
“Bukti gagalnya pengurus negara melindungi rakyat dan lingkungan di Sumatera,” tegas Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh, Ahmad Shalihin.
Discussion about this post