Setidaknya dari titik api yang ditemukan di konsesi perusahaan di atas, PT RAPP (APRIL&Partner), PT SRL (APRIL&Partner), dan PT DRT (Barito Grup) adalah perusahaan yang juga terbakar pada tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan PT Jatim Jaya Perkasa (Wilmar Grup) telah diputus bersalah melakukan perbuatan melawan hukum terkait kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup dan kebakaran hutan dan lahan berdasar putusan Mahkamah Agung kembali ditemukan titik api dalam areal kerjanya.
Baca juga: Varietas Padi IPB 11S Bepe Cocok Ditanam di Lahan Dekat Pantai
Selain itu, hasil analisis media Walhi Riau juga menemukan Perusahaan Milik Asing (PMA) asal Malaysia, PT Adei Plantation Industry (KLK Grup) kembali terbakar. Perusahaan ini telah dua kali dijatuhi hukuman pidana atas kasus yang sama, yaitu pada tahun 2016 dan 2020.
“Kami mendesak penegak hukum menetapkan perusahaan yang areal kerjanya terbakar sebagai tersangka karhutla,” tegas Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembering.
Penegakan hukum juga harus paralel dengan evaluasi perizinan. Perusahaan yang berulang kali menjadi pelaku karhutla dan memiliki catatan pelanggaran lingkungan hidup lainnya dnilai layak dicabut perizinannya.
Baca juga: Prasasti Yupa Kerajaan Kutai Lebih Tua, Tapi Belum Masuk Memory of the World UNESCO
Karhutla di Aceh
Total hotspot di Aceh sebanyak 235 titik, dimana 11 persen atau 26 titik terpantau berada dalam konsesi Hak Guna Usaha (HGU) lima Perusahaan. Meliputi PTPN (18 hotspot), PT Beutami sebanyak (2 hotspot), PT Karya Tanah Subur (1 hotspot), PT Setya Agung (1 hotspot), dan PT Watu Gede Utama (4 hotspot).
“Hasil temuan kami, titik panas paling banyak muncul di lahan milik negara sendiri. PTPN, sebagai perusahaan plat merah, semestinya jadi teladan pengelolaan lahan, bukan penyumbang risiko karhutla. PTPN abai menjaga konsesinya dari kebakaran. Bukti negara lalai menjaga hutan dan lahan miliknya sendiri,” ucap Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Afifuddin Acal.
Parahnya, hotspot level tinggi yang berada di perusahaan plat merah sebanyak lima kasus. Seharusnya sebagai pemegang HGU milik pemerintah berkewajiban menjaga lahannya dari kebakaran. Jika titik panas terus muncul di sana, maka ini bukan kelalaian biasa. Namun diduga ada potensi kejahatan lingkungan oleh perusahaan milik negara.
Baca juga: Eka Tarwaca, Konversi Lahan Karet Menjadi Kebun Sawit Keliru dan Berisiko
“Harusnya perusahaan plat merah itu menjadi contoh untuk pemegang konsesi HGU lainnya untuk menjaga atau mengendalikan karhutla. Bukan malah mereka yang banyak terjadi karhutla. Perusahaan negara ini tidak hanya lalai, tapi patut diperiksa dan diproses hukum,” tegas dia.
Hotspot paling banyak berada di kawasan Areal Peruntukan Lain (APL) atau non kawasan hutan sebanyak 136 hotspot. Hutan dengan fungsi lindung, produksi dan konservasi juga terdapat hotspot di dalamnya, dengan masing-masing sebanyak 37 hotspot, 43 hotspot dan 19 hotspot.
Data ini mengindikasikan kebakaran tidak hanya terjadi di area terbuka atau tidak dijaga, tetapi juga telah merambah ke kawasan hutan lindung, konservasi, bahkan taman nasional.
Baca juga: Ranggah Kijang Bercabang Dua, Ranggah Rusa Bercabang Banyak
“Sebaran titik panas di zona-zona yang seharusnya dilindungi ini menjadi alarm keras bagi otoritas kehutanan dan penegak hukum untuk memperkuat pengawasan dan penindakan,” jelas dia.
Lemahnya kontrol di APL dan HGU mengindikasikan celah besar dalam pengawasan pemanfaatan lahan. Jika dibiarkan, maka potensi kebakaran hutan dapat meluas, mengancam kehidupan masyarakat, keanekaragaman hayati, serta memperparah krisis iklim.
Sementara karhutla di Aceh sepanjang 2024 tercatat mencapai 7.257,35 hektare sehingga merupakan kejadian terburuk dalam lima tahun terakhir. Angka ini melonjak lebih dari empat kali lipat dibandingkan 2023 yang seluas 1.936,86 hektare.
Baca juga: Konflik Tenurial, BAM DPR Dorong Keadilan Bagi Warga di Kawasan Hutan
Ledakan karhutla itu menempatkan Aceh pada peringkat keempat tertinggi di Sumatra pada 2024 dan peringkat ke-12 di Indonesia.
Memasuki 2025, hingga akhir Juli, luas karhutla di Aceh tercatat menurun menjadi 354 hektare. Namun secara peringkat, Aceh justru naik ke posisi ketiga di Sumatra dan peringkat ke-8 secara nasional. Artinya, meskipun luasan kebakaran menurun, tingkat kerawanan dan penyebaran hotspot tetap tinggi.
“Penurunan luas bukan berarti persoalan selesai. Jika hotspot masih muncul setiap pekan dan menyasar kawasan lindung hingga konsesi negara, maka itu bukan keberhasilan, melainkan kegagalan yang ditunda,” imbuh dia.
Baca juga: Ikan Nila dan Mujair Berbeda secara Morfologis, Tak Jauh Beda dalam Reproduksi
Kondisi ini menunjukkan Aceh masih berada dalam bayang-bayang krisis ekologi yang serius. Tingginya kasus karhutla tahun lalu serta konsistensi munculnya hotspot tahun ini menjadi indikator sistem pencegahan dan pengawasan kebakaran belum berjalan efektif.
Karhutla di Kalimantan Tengah
Berdasarkan hasil analisis Walhi Kalimantan Tengah menggunakan analisis VIIRS NOAA pada periode 1 Juli – 28 Juli 2025, tercatat sebanyak 446 titik hotspot tersebar di 14 kota dan kabupaten di kalimantan Tengah. Hotspot paling besar ada di Lamandau (75 titik), Gunung Mas (66 titik), Katingan (56 titik), Kapuas (52 titik), dan Kotawaringin Timur (46 titik).
Temuan titik hotspot pada konsesi perkebunan sawit terindikasi sebanyak 119 titik panas yang tersebar di 51 konsesi. Di antaranya ada enam perusahaan yang terjadi karhutla berulang baik di dalam dan areal luar sekitar konsesinya pada tahun 2015, 2019, 2023, dan 2024. Meliputi PT Maju Aneka Sawit, PT Borneo Subur Prima, PT Rimba Sawit Utama Planindo, PT Borneo Eka Sawit Tangguh, dan PT Katingan Mujur Sejahtera.
Baca juga: MK Tolak Uji Formil UU KSDAHE, Dissenting Opinion Dua Hakim Sebut Ada Pelanggaran
Kemudian temuan hotspot pada izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 34 titik yang tersebar di 14 konsesi hutan tanaman industri. PT Ramang Agro Lestari memiliki delapan titik hotspot dan terindikasi kejadian karhutla berulang pada tahun 2019 dan 2023.
Manager Advokasi, Kajian dan Kampanye Walhi Kalteng, Janang Firman P mengatakan analisis menunjukkan kerentanan karhutla di Kalimantan Tengah cukup tinggi, terutama di area konsesi perkebunan dan hutan tanaman industry (HTI).
Pemerintah perlu segera menetapkan kebijakan mitigasi dan pemetaan area rawan untuk skema antisipasi dan penanganan intensif. Negara tidak boleh lalai, mengingat karhutla kerap terjadi tiap tahun, seperti pada 2015, 2019, dan 2023.
Baca juga: Juli Puncak Kemarau di Riau, Potensi Karhutla Meningkat hingga Awal Agustus
“Potensi kebakaran tahun ini juga besar. Penegakan hukum pun harus adil, tanpa tebang pilih. Rakyat kecil jangan terus menjadi korban, sementara korporasi luput dari sanksi tegas,” ucap Janang.
Karhutla di Jambi
Karhutla kembali menjadi ancaman serius di Provinsi Jambi. Berdasarkan hasil pemantauan Walhi Jambi melalui sistem Fire Information for Resource Management System (FIRMS) milik NASA menggunakan sensor VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) pada satelit Suomi NPP (N21) tercatat sebanyak 578 titik panas selama periode Juli 2025.
Dari jumlah tersebut, 114 titik panas berada dalam kawasan konsesi 33 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan 66 titik lainnya tersebar di konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) delapan perusahaan.
Baca juga: Lahan Konservasi Gajah dari Prabowo, Pakar Ingatkan Kepastian Status Lahan dan Kesesuaian Habitat
Fakta ini kembali menegaskan bahwa karhutla bukan semata terjadi karena aktivitas masyarakat. Melainkan dominan berlangsung di area yang dikelola korporasi besar pemegang izin konsesi.
Walhi Jambi menemukan HGU perusahaan sawit yang memiliki titik panas tertinggi antara lain eks PT Bahari Gembira Ria (21 titik), PT Ari Kirana Lestari (11 titik), PT Muaro Kahuripan Indonesia (17 titik) dengan Fire Radiative Power (FRP) tertinggi sebesar 40,13 dan tingkat kepercayaan tinggi, yang mengindikasikan kuat adanya kebakaran aktif.
Masyarakat jaringan Walhi Jambi mengkonfirmasi di lapangan, bahwa terjadi kebakaran di wilayah tersebut dengan perkiraan luasan 270 Ha. Meliputi PT Dharma Tanjung Sawita (8 titik), PT Tujuh Kaki Dian (7 titik).
Baca juga: Lebih Dua Dekade, Baleg dan Komisi XIII DPR Janji Sahkan RUU Masyarakat Adat
Selain itu, puluhan perusahaan lainnya tercatat memiliki titik panas meskipun dalam jumlah lebih kecil. Ini mengindikasikan karhutla terjadi secara sistemik dan berulang di berbagai korporasi.
Sementara di sektor kehutanan (PBPH), pemantauan Walhi Jambi menemukan titik api di lahan sejumlah perusahaan. PT Wira Karya Sakti (WKS) (33 titik), mayoritas terjadi berulang di lokasi yang sama, dan nilai FRP sebesar 14,29 di Kabupaten Batanghari. PT Limbah Kayu Utama (12 titik), dengan FRP 23,39, juga pada level kepercayaan tinggi.
Perusahaan lain seperti PT Alam Bukit Tiga Puluh, PT Hijau Artha Nusa, PT Malaka Agro Perkasa, dan lainnya turut teridentifikasi sebagai lokasi hotspot. Sebaran titik-titik panas ini menunjukkan kelalaian atau bahkan indikasi kesengajaan dalam pengelolaan lahan yang berujung pada kebakaran.
Baca juga: Fondasi Gedung Pusat Komando Peringatan Dini Multi Bahaya Sedalam 30 Meter
Direktur Eksekutif WalhiJambi, Oscar Anugrah menyatakan temuan ini mencerminkan kegagalan struktural negara dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap korporasi yang terus mengulangi pelanggaran lingkungan.
“Setiap tahun, kami mendapati pola yang sama. Kebakaran terjadi di wilayah yang itu-itu saja, milik korporasi yang sama, dan hingga kini tidak ada penindakan serius. Korporasi melanggar dan rakyat yang harus menanggung sesaknya asap dan rusaknya lingkungan. Kami menegaskan karhutla adalah kejahatan ekologis yang tidak boleh dimaklumi,” tegas Oscar.
Temuan ini menunjukkan kegagalan sistematis dalam pengawasan dan penegakan hukum atas aktivitas korporasi di sektor perkebunan dan kehutanan. Pemerintah Jambi dan aparat penegak hukum tidak bisa terus abai melihat berulangnya karhutla di area konsesi yang sama, apalagi dengan tingkat kepercayaan data yang tinggi dari sistem pemantauan.
Baca juga: Karhutla Juga Terpantau di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Kalimantan Selatan
Walhi Jambi mendesak agar korporasi yang wilayah konsesinya terindikasi terbakar segera diperiksa dan ditindak tegas, termasuk pencabutan izin jika terbukti lalai atau sengaja membakar.
“Ini bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga soal hak hidup rakyat yang terancam asap dan kehancuran ekologis,” ucap Oscar. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post