Wanaloka.com – Sejarah keberadaan banteng jawa (Bos javanicus javanicus) di Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, Jawa Barat dimulai pada 1979. Hasil inventarisasi masih menunjukkan ada 60-90 ekor banteng di sana. Namun material alam berupa abu vulkanik hasil letusan Gunung Galunggung pada 1982-1983 telah menyebabkan padang savana yang menjadi lokasi pakan banteng tertutup. Akibatnya, populasi banteng di CA Pananjung Pangandaran menurun.
Akhirnya, populasi terakhir dijumpai pada 2003. Tak heran, keberadaan banteng di sana pernah dinyatakan punah.
Salah satu untuk meningkatkan populasinya dengan melakukan reintroduksi banteng jawa ke CA Pananjung Pangandaran. Keragaman genetik yang lebih baik dari populasi terpisah yang ada di beberapa taman nasional di Pulau Jawa diharapkan terwujud.
Baca Juga: Komisi IV DPR Usulkan RUU Perlindungan Lahan Atasi Alih Fungsi Lahan Pertanian
“Reintroduksi ini tentu bermaksud untuk menjaga populasi banteng. Spesies unik yang dapat dikembangkan kembali, terutama di Pangandaran ini,” ujar Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni usai melepas empat ekor banteng jawa di CA Pananjung Pangandaran, Rabu, 11 Desember 2024.
Pelepasliaran ini upaya reintroduksi satwa banteng jawa secara alami.
“Inisiatif baik yang dilakukan hari ini agar dapat direplikasi dan dikembangkan di tempat-tempat lain, tentu dengan spesies yang khusus sesuai habitat masing-masing,” tutur Raja Juli yang sekaligus melakukan peresmian Pusat Reintroduksi Banteng Jawa di sana.
Baca Juga: Gempa Dangkal Tektonik Bengkulu Selatan Guncangannya Dirasakan Banyak Orang
Bupati Kabupaten Pengandaran Jeje Wiradinata menilai upaya reintroduksi ini akan berpengaruh positif pada perbaikan ekosistem. Ia juga berharap reintroduksi banteng dapat menambah satu destinasi wisata, sehingga bertambah pula kunjungan wisatawan di Pangandaran.
Untuk memastikan keberhasilan program reintroduksi, Kemenhut dan para pihak telah melakukan berbagai persiapan penting. Seperti kajian kesesuaian habitat dan ruang untuk mengukur daya dukung serta daya tampung kawasan terhadap populasi. Kemudian pemulihan ekosistem padang rumput seluas sekitar 7,12 Ha, terdiri atas sekitar 6,05 Ha di blok Cikamal dan sekitar 1,07 Ha di blok Nangorak.
Selain itu juga dilakukan forum diskusi terpumpun untuk membangun dukungan publik dengan meningkatkan kerjasama parapihak, pembuatan kandang habituasi dan penyiapan feeding ground berupa penanaman rumput pakan dan penyiapan areal lainnya.
Baca Juga: Masyarakat Adat di Boven Digoel Tolak Izin Usaha Sawit di Hutan Adat Papua
Discussion about this post