Wanaloka.com – Film “Baradwipa” yang diproduksi jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) bersama Watchdoc menyoroti dampak nyata yang dialami masyarakat di Pulau Sumatera akibat pengembangan industri batu bara. Sekaligus menggarisbawahi betapa mendesaknya kebutuhan untuk beralih dari energi fosil.
“Kami melihat eskalasi kerusakan lingkungan terjadi lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan kesadaran kita untuk menyelamatkannya. Percepatan kerusakan itu disebabkan aktivitas industri batu bara,” ujar Jaka HB dari Roehana Project dalam diskusi publik bertema “Tidak Ada Kemerdekaan di Udara Tercemar” yang digelar Roehana Project dan Trend Asia untuk memeringati 79 Tahun NKRI pada 19 Agustus 2024.
Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri menambahkan PLTU di seluruh Indonesia menjadi sumber polusi yang mengancam kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dampaknya tidak hanya dirasakan lingkungan, melainkan juga generasi mendatang.
Baca Juga: Greenpeace, Revisi UU Pilkada Lumpuhkan Demokrasi dan Berdampak Pada Kebijakan Lingkungan
Koordinator Advokasi LBH Padang, Diki Rafiqi menyorot PLTU Sawahlunto di Sumatera Barat yang merupakan salah satu lokasi terdampak, meskipun skala kerusakan mungkin tidak besar. Namun dampaknya sangat signifikan bagi masyarakat. Pertambangan batu bara di sana menyebabkan masalah kesehatan, khususnya terkait pernapasan.
“Hasil pemeriksaan medis tahun 2017-2018 menunjukkan peningkatan penyakit paru-paru penduduk yang tinggal di sekitar PLTU,” kata dia.
Ada urgensi besar untuk penanganan masalah kesehatan terkait dengan aktivitas PLTU di Sawahlunto. Pencemaran udara akibat asap dan debu PLTU yang beroperasi di Sumatera berdampak besar terhadap masyarakat, seperti tingginya angka ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).
Baca Juga: Pengunjung Bisa Melihat Objek Langit Siang Hari di Observatorium Bosscha
Akibatnya, terjadi perubahan ekonomi lantaran nelayan yang melaut semakin jauh, sehingga ada pengeluaran lebih untuk melaut ditambah pengobatan penyakit pernapasan.
Sementara jurnalis menghadapi banyak persoalan untuk memberitakan polemik yang dihadapi masyarakat, seperti dampak kehadiran PLTU batu bara terhadap kerusakan lingkungan.
“Tak banyak jurnalis yang mendapatkan dukungan dari redaksi untuk meliput masalah lingkungan. Padahal, peran media sangat penting dalam mengungkap fakta-fakta terkait dampak energi kotor,” kata Novia.
Baca Juga: Sedia Payung, Sebagian Wilayah Indonesia Diguyur Hujan Sepekan
Diskusi publik tersebut merupakan bagian dari serangkaian kegiatan kampanye “Merdeka dari Batu Bara” yang bertujuan untuk mengingatkan tak ada kemerdekaan di udara yang tercemar. Pada 18 Agustus 2024, Roehana Project dan Trend Asia mengibarkan banner yang menyoroti dampak buruk aktivitas PLTU batu bara di Sumatera Barat.
Mulai dari PLTU Teluk Sirih yang secara administratif merupakan bagian dari Kota Padang sebagai sumber pembangkit listrik yang menggunakan batu bara. Kemudian Pantai Air Manis yang terkait dengan legenda terkenal Malin Kundang dan kedurhakaannya pada orang tua, terakhir landmark Kota Padang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Penggunaan batu bara untuk PLTU turut menyumbang racun di udara yang dihirup masyarakat. Sumatera Barat sendiri memiliki masalah dengan batu bara dan memiliki dua PLTU yang menggunakan batu bara, yakni Ombilin dan Teluk Sirih.
“Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Kalau kita sudah merdeka mengapa kita masih menghirup udara kotor yang akan merusak paru-paru kita sendiri?” tanya Jaka.
Discussion about this post