Wanaloka.com – Karangwuni adalah sebuah desa indah yang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis, lokasi desa ini berada di pesisir selatan dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.
Keindahan Karangwuni tak lepas dari menjamurnya spot wisata di sepanjang garis pantai. Sebut saja Pantai Glagah, Pantai Krida, Pantai Palma, Pantai Raziman dan lainnya. Pantai-pantai di sana menjadi pilihan untuk menikmati kecantikan sunset atau matahari terbenam.
Lantaran berada di wilayah pesisir, sebagian besar masyarakat Karangwuni bermata pencaharian sebagai nelayan. Meskipun sebagian ada juga petani, pedagang, pegawai swasta dan pemerintah.
Baca Juga: Dwikorita Karnawati, Suhu Panas di Kota Besar 30 Tahun Terakhir adalah Efek UHI
Potensi Sesar Megathrust
Sebagai desa maritim, penduduk Karangwuni sudah terbiasa dengan ombak laut selatan yang terkenal tinggi dan ganas. Tidak terlepas dari dongeng legenda Nyi Roro Kidul yang sebagian orang masih mempercayainya sebagai sosok di balik keganasan pantai selatan Jawa itu.
Begitulah mitos laut kidul. Konon siapa saja tidak boleh sembarangan berada di sana. Ada hal-hal yang harus dipatuhi. Aturan itu berlaku bagi siapapun, baik warga sekitar maupun wisatawan atau pendatang baru.
Terlepas dari mitos itu, sebenarnya ada sains yang bisa menjelaskan penyebab fenomena itu terjadi secara logika. Bahwa wilayah selatan Jawa memiliki potensi sesar megathrust yang membentang dari wilayah Banten hingga Banyuwangi di Jawa Timur. Sesar atau patahan itu merupakan bagian dari yang disebut “Ring of Fire”. Jika ditarik garis, patahan itu sebenarnya membentang dari barat Sumatera, selatan Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Filipina, Jepang dan seterusnya.
Baca Juga: Juli-September 2024 Puncak Karhutla, BMKG Tebar 13 Ton NaCL di Kalbar
Menurut para ahli, patahan itu berpotensi memicu terjadinya gempabumi dan dapat memicu gelombang tsunami. Namun kapan waktunya terjadi fenomena alam itu, hingga saat ini belum dapat dipecahkan oleh sains.
Berdasarkan ilmu pengetahuan itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk memperkuat mitigasi, kesiapsiagaan masyarakat dan peringatan dini berbasis ekologi dan teknologi sebagai solusi dan antisipasi jangka panjang. Salah satunya diwujudkan dengan membentuk Desa Tangguh Bencana (Destana) yang diprakarsai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak 2019.
Melalui program Destana, masyarakat dilatih untuk mempersiapkan diri mulai dari peningkatan kapasitas, mitigasi hingga memahami konsep peringatan dini. Program Destana itu sekaligus merupakan kolaborasi dan sinergi positif antara pemerintah dan masyarakat demi menciptakan manusia tangguh bencana.
Baca Juga: Terpesona Kegigihan Lansia Ikut Simulasi Evakuasi Mandiri Erupsi Gunung Merapi
Sejak program Destana masuk ke Karangwuni, masyarakat berangsur-angsur memahami potensi ancaman bencana itu. Kabar baiknya, masyarakat kini sudah semakin memahami bagaimana konsep hidup berdampingan dengan alam di mana di dalamnya ada konsekuensi besar yaitu potensi risiko bencana.
Kamis, 27 Juni 2024, Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto datang ke Karangwuni untuk memastikan kesiapsiagaan masyarakat yang telah dibentuk melalui program Destana masih terjaga dengan baik.
Suharyanto tidak sendiri. Deputi Bidang Pencegahan BNPB Prasinta Dewi dan Direktur Kesiapsiagaan BNPB Pangarso Suryotomo mendampinginya di tengah masyarakat dan relawan yang tergabung dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) se-Kulon Progo, termasuk Penjabat Bupati Kulon Progo, Srie Nurkyatsiwi dan jajaran forkopimda.
Baca Juga: Peneliti UGM Kembangkan Microforest 100 untuk Kontribusi Net Zero Carbon
Dalam forum itu, Suharyanto menebalkan pengetahuan masyarakat terkait fenomena sesar tadi. Menurut Suharyanto, wilayah Indonesia banyak sekali dilalui sesar yang sudah terdeteksi maupun yang belum.
Misalnya, gempabumi dengan magnitudo 5.6 di Cianjur yang terjadi pada November 2022 dipicu sesar yang keberadaannya baru terdeteksi. Tim ahli dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Riset Nasional (BRIN) kemudian menamai patahan tersebut dengan sebutan “Sesar Cugenang”, karena lokasinya berada di Desa Cugenang.
“Gempa Cianjur itu sesarnya baru. Muncul di Desa Cugenang, dinamakan Sesar Cugenang. Kemudian gempabumi di Sumedang. Itu juga baru,” jelas Suharyanto.
Baca Juga: Infeksi Bakteri “Pemakan Daging” di Jepang Menular Lewat Droplet dan Pernafasan
Discussion about this post