Dari keberadaan sesar aktif, baik yang sudah maupun yang belum terpetakan, Suharyanto mengingatkan potensi risiko bencana gempabumi tetap harus diwaspadai bersama. Terlebih wilayah Kulon Progo masuk dalam wilayah yang memiliki potensi dampak risiko bencana. Ia menganggap upaya kesiapsiagaan menjadi hal penting untuk selalu ditingkatkan.
“Termasuk Kulon Progo itu sesar yang jelas-jelas aktif dan berpotensi megathurst. Kejadian seperti di Aceh, Padang, Mentawai, Palu hingga Sendai di Jepang itu bisa terjadi di tempat ini. BNPB memandang sangat penting upaya kesiapsiagaan,” papar Suharyanto.
Masyarakat Tangguh Bencana
Sebagai upaya membentuk masyarakat tangguh bencana, BNPB berkolaborasi dengan kementerian/lembaga lain. Sebut saja BMKG, BRIN termasuk unsur TNI dan Polri. Seluruh unsur itu pun memiliki peran penting sesuai tupoksi masing-masing.
Baca Juga: Kata Guru Besar IPB University Soal Konservasi Raptor, Dugong dan Kelelawar
Contoh sederhananya, jika BMKG bertugas memasang alat pendeteksi dan peringatan dini, maka tugas BNPB adalah mempersiapkan masyarakatnya agar lebih sigap membaca peringatan dini sebagai bagian dari peningkatan kapasitas.
Dua hal itu menjadi bagian yang tidak boleh dipisahkan. Tanda-tanda alam maupun informasi peringatan dini bagi sebagian orang masih menjadi pertanyaan. Jika pemahaman masyarakat dan perilaku tidak dalam satu rangkaian, maka hal itu dapat memperbesar risiko bencana.
“BMKG membeli dan menasang alat agar masyarakat bisa tahu duluan. Aceh waktu itu masyarakatnya tidak mengerti ketika setelah terjadi gempabumi lalu air laut surut. Mereka turun ke laut untuk mengambil ikan. Tiba-tiba tsunami datang,” kata Suharyanto.
Baca Juga: Foto Jurnalis Regina Safri Tularkan Virus Peduli Alam di 16 Kota
Tugas BNPB menyiapkan masyarakatnya, sehingga dibentuklah Destana di 180 desa di Kulon Progo.
“Kalau selamat semua ya berarti berhasil. Harus ada parameternya. Makanya saya keliling melihat sampai sejauh mana program itu dapat dilaksanakan dengan baik,” imbuh Suharyanto.
Dari seluruh rangkaian program Destana itu, dia berharap terus dilakukan pelatihan, tetapi tidak benar-benar dipraktikkan secara nyata. Dengan kata lain, bencana tidak benar-benar terjadi di tengah masyarakat. Di sisi lain, Suharyanto memahami apabila bencana terjadi, semua itu merupakan kehendak Sang Pencipta. Manusia hanya dapat berikhtiar untuk melakukan hal terbaik demi mengurangi risiko bencana.
Baca Juga: Rina Mardiana, Informasi PSN Rempang Ecocity Tak Transparan
“Mudah-mudahan dengan kegiatan penyiapan desa ini, kami harapkan sampai kapanpun isinya simulasi saja. Jangan sampai terjadi praktik beneran. Mohon itupun jangan dianggap sepele. Karena bencana itu tidak ada yang datangnya tiba-tiba,” kata Suharyanto.
Ia juga mewanti-wanti bahwa bencana adalah kejadian yang berulang. Setiap bencana menurut verifikasi ilmu sains memiliki ‘hari ulang tahunnya’, sehingga kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat tetap harus menjadi aset utama demi melahirkan manusia-manusia yang memiliki budaya sadar bencana.
“Siklus bencana itu berulang. Tsunami Aceh itu ternyata beberapa puluh tahun yang lalu sudah pernah terjadi. Kita sebagai masyarakat tidak ada salahnya harus tetap waspada,” jelas Suharyanto.
Baca Juga: Api Abadi Tanjung Api dan Mata Air Panas One Pute di Sulawesi Tengah Mengandung Hidrogen Alami
Di hadapan para relawan, kepala desa, tokoh kebencanaan dan pemangku kebijakan yang hadir, Suharyanto memastikan BNPB akan terus mendampingi pemerintah daerah dalam memperkokoh Destana. Suharyanto tidak ingin apa yang sudah menjadi ketetapan dalam pengurangan risiko bencana ini kemudian luntur.
“Program ini akan terus berlanjut. Jangan sampai terhenti karena masyarakat menganggap tidak ada tsunami, lalu 30 tahun ke depan masyarakat jadi lupa. Ini bahaya,” tegas Suharyanto. [WLC02]
Sumber: BNPB
Discussion about this post