Wanaloka.com – Hampir 200 negara berkumpul di Cali, Kolombia, untuk merundingkan upaya menghentikan dan membalikkan kerusakan alam dan punahnya keanekaragaman hayati. Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia yang hadir di Cali menyerukan kepada pemerintah yang sedang berunding serta komunitas global untuk mendukung agenda terkait hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal (IP&LC).
Urgensi mendukung agenda masyarakat adat
Penghormatan terhadap hak masyarakat adat dan komunitas lokal menempati peran penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu.
Pada COP 16 CBD, masyarakat adat mendorong negara-negara yang hadir untuk memastikan pengakuan penuh atas kontribusi masyarakat adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati di dunia. Juga mendorong penetapan pembentukan badan permanen (subsidiary body) yang mengikat khusus Article 8j terkait pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati.
Baca Juga: IPB University Teliti Populasi Ikan Red Devil yang Resahkan Nelayan Danau Toba
Sayangnya, perwakilan delegasi Indonesia justru menolak pendirian subsidiary body pada Article 8j tentang Pengetahuan, Inovasi, dan Praktik-Praktik Tradisional tersebut. Padahal kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk mencapai target KM-GBF sangat besar.
“Penolakan Indonesia terhadap pembentukan Subsidiary Body adalah sebuah kemunduran,” tegas WGII (Working Group on Indigenous and Local Communities-Conserved Areas and Territories Indonesia), Cindy Julianty.
Padahal pembicaraan terkait upaya mempermanenkan Working Group on Article 8j sudah dilakukan sejak 20 tahun lalu. Upaya itu untuk memastikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, juga inovasi dan praktik yang dilakukan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya genetik.
Baca Juga: Simocakap, Cegah Kebakaran Lahan Gambut Berbasis Teknologi dan Partisipasi Masyarakat
Pasca komitmen KM-GBF, adanya kerangka kerja dan pembentukan Subsidiary Body dapat memastikan terukur dan terjaminnya dimensi keadilan dan sosial dari implementasi KM-GBF.
Saat ini, wilayah adat di Indonesia yang telah terpetakan sudah mencapai 30,1 juta hektare. Namun, baru 16 persen dari wilayah tersebut telah diakui secara hukum.
“Menjamin hak penguasaan tanah masyarakat adat adalah hal yang terpenting jika kita ingin melindungi keanekaragaman hayati yang masih tersisa,” kata Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo.
Baca Juga: Pengamat UGM Ingatkan Prabowo, Swasembada Energi Butuh Komitmen Bukan Omon-omon
Menjamin dan melindungi wilayah masyarakat adat dan kawasan konservasi akan membantu Indonesia mencapai target 30×30 (perlindungan 30 persen area keanekaragaman hayati di daratan dan lautan pada tahun 2030). Berdasarkan data terbaru WGII, terdapat lebih dari 22 juta hektare lahan yang dikelola dan dilindungi dengan pengetahuan tradisional yang dapat berkontribusi untuk mencapai tujuan konservasi Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM GBF).
Hentikan penyebab hilangnya keanekaragaman hayati
Saat ini, keanekaragaman hayati Indonesia terancam aktivitas industri-industri ekstraktif. Sebut saja pertambangan, eksploitasi dan penebangan hutan, pertanian skala besar, dan berbagai proyek strategis nasional.
Izin-izin ekstraktif di Indonesia telah menguasai lebih dari 100 juta hektare daratan dan lautan di Indonesia (55,5 juta hektare di daratan dan 45,4 juta hektare di lautan). Hadirnya industri-industri yang juga didorong permintaan dan kebutuhan global seperti batu bara, minyak sawit, kayu, dan nikel, telah menyebabkan deforestasi besar-besaran dan kerusakan habitat.
Baca Juga: Banjir Bandang Terjang 176 Rumah Warga di Bone Bolango
Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam pelantikannya pada 20 Oktober 2024 telah menargetkan swasembada pangan dalam 4-5 tahun dengan mengandalkan food estate. Saat ini sedang berlangsung pengembangan program food estate di beberapa provinsi, seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Papua Selatan dengan target luas lebih dari 2 juta hektare. Program food estate tersebut telah mengakibatkan kehancuran ekosistem keanekaragaman hayati dan wilayah adat, budaya serta kearifan lokal masyarakat adat.
Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia menyatakan komitmen terhadap perlindungan keanekaragaman hayati harus ditunjukkan dengan aksi nyata dengan mengurangi secara signifikan aktivitas-aktivitas industri ekstraktif yang membahayakan keanekaragaman hayati di Indonesia seperti nikel, sawit, food estate, HPH, HTI, pertambangan, dan lain sebagainya.
Discussion about this post