Pulau Batam menawarkan peluang investasi yang besar, bahkan masyarakat juga dijanjikan akan diberdayakan sebagai tenaga kerja apabila proyek Rempang Eco City dapat terwujud. Alhasil, masyarakat pun terbelah menjadi dua kubu, yaitu masyarakat adat yang benar-benar menentang proyek itu dan mayoritas masyarakat pendatang yang setuju dengan proyek tersebut.
Apabila menilik dari segi legalitas hukum atas pengelolaan lahan Batam dan Pulau Rempang, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 telah menjelaskan otorisasi tersebut. Bahwa hak pengelolaan atas lahan Batam diberikan pada otoritas Batam (BP Batam) sepenuhnya untuk dibagikan kepada pihak ketiga yang berperan mengelola tanah tersebut lebih lanjut. Pihak itu diwajibkan membayar hak guna lahan tersebut kepada pemerintah. Lalu, pada tahun 1992, pemerintah memberikan wilayah Rempang dan Galang kepada otoritas Batam untuk dikelola dengan dalih untuk memajukan industri Batam.
Baca Juga: Data Walhi, Konflik Agraria Meningkat di Daerah Proyek PSN
Kemudian masuklah PT. MEG pada tahun 2004. DPRD Batam memberikan rekomendasi perusahaan tersebut dapat melakukan aktivitas pengembangan di wilayah itu. Dari rekomendasi ini, ada nota kesepakatan bahwa Pemerintah Batam setuju kalau PT. MEG akan mengelola wilayah-wilayah di Batam, termasuk Rempang.
“Tapi perlu digarisbawahi, kesepakatan ini dinyatakan bahwa PT. MEG akan membangun pusat-pusat hiburan, perkantoran, permainan itu berbeda dengan wacana sekarang,” ucap Praktisi Hukum, Reggy Dio Geo Fanny.
Sempat ada usaha pemisahan otoritas Kota Batam dengan pulau tua, seperti Rempang dari otoritas BP Batam oleh Walikota Batam. Tapi upaya tersebut tidak ada tindak lanjut hingga pada tahun 2023 dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan ada proyek pembangunan Eco City di Kepulauan Riau. Legalitas itu mengisyaratkan Pemerintah Indonesia mendukung sepenuhnya pembangunan proyek industri di Pulau Batam oleh PT. MEG.
Baca Juga: Makertihartha: Konversi Minyak Nabati Menjadi Bahan Bakar Nabati untuk EBT
“Perlu diperhatikan pada ayat dua, bahwa hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat ditetapkan pada masyarakat hukum adat. Pertanyaannya, apakah masyarakat Batam tersebut merupakan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara? Dan apakah tanah tersebut juga diakui negara sebagai tanah ulayat,” tutur Reggy.
Pemerintah memiliki peran penting dalam menentukan kewenangan yang dapat menjadi jalan tengah antara berbagai pihak terlibat. Selain hukum konstitusional, Indonesia sebagai negara multikultural memiliki hukum adat dan hukum agama sebagai bagian dari masyarakat. Pengakuan adanya hukum adat, masyarakat adat, dan tanah adat menjadi krusial untuk menemui titik terang dari konflik Rempang. [WLC02]
Discussion about this post