“Kenaikan hampir 40 ppm itu saja di tengah hutan, lokasi yang belum tercemar. Bayangkan kalau di kota besar akan lebih tinggi lagi,”ujar Dwikorita.
Baca Juga: Fahmy Radhi: Polusi Udara Jakarta Ekstrem Perlu Kebijakan Ekstrem
Ia berharap seluruh umat di dunia mengetahui perubahan iklim global. Serta harus memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan laju gas rumah kaca.
Perubahan iklim global mengakibatkan terjadinya bencana alam, baik bencana alam basah maupun bencana alam kering yang terjadi hampir merata di seluruh negara. Kedua jenis bencana itu bisa terjadi bersamaan. Dampak perubahan iklim pun tidak pilih-pilih, baik negara maju, negara berkembang, ataupun negara adidaya bisa mengalami.
“Tren kejadian semakin meningkat dan frekuensi kejadian semakin sering. Studi menunjukkan, inilah ciri-ciri dampak dari perubahan iklim,” kata Dwikorita.
Baca Juga: Gempa Ende Magnitudo 5,8 Dipicu Deformasi Batuan
Perubahan iklim mengakibatkan banjir dengan jumlah kejadian dan intensitas yang kian meningkat, kelangkaan air di seluruh belahan dunia, kenaikan suhu, kekeringan, bahkan kerawanan pangan.
“Hampir seluruh dunia akan mengalami ini termasuk Indonesia di sekitar tahun 2050. Kondisi ini akan terjadi dengan asumsi apabila hidup kita menggunakan energi yang mengakibatkan gas rumah kaca,” urai Dwikorita.
Selain perubahan iklim, Dwikorita juga menyoroti pentingnya kesiapsiagaan bencana, salah satunya rutin melakukan gladi posko. Tujuan gladi posko adalah untuk meningkatkan kapasitas agar cekatan dan mampu menolong diri sendiri serta orang yang ada di sekitar ketika bencana terjadi. Seperti di Jepang yang sudah menjadikan kesiapsiagaan sebagai budaya. Penting juga membuat peta-peta rute evakuasi agar semua orang memiliki peluang untuk selamat dalam keadaan darurat. [WLC02]
Discussion about this post