Ia menekankan pentingnya pendekatan sains dan teknologi dalam setiap lapisan aksi. Pemanfaatan satelit, drone suhu tinggi, dan dashboard pemantauan titik api menjadi kewajiban di lapangan, bukan lagi pilihan. Ia juga menyoroti efektivitas OMC yang telah dilakukan tujuh kali di Sumatera Selatan dan terbukti mampu memperpanjang curah hujan serta mengurangi jumlah hotspot.
“Namun, OMC bukan solusi tunggal dan harus dirancang secara cermat mengingat tingginya biaya operasional,” kata Hanif.
Baca juga: Exploitasia, Banteng Jawa Betina Lahir di Pusat Reintroduksi Banteng Jawa Pangandaran
Ia mengungkapkan sebagian besar karhutla tahun ini justru terjadi di luar kawasan hutan dan bukan di lahan gambut. Meski Sumatera Selatan memiliki sekitar 2,1 juta hektare lahan gambut atau 23 persen dari total luas wilayah, data KLH/BPLH menunjukkan lokasi kebakaran banyak terjadi di lahan mineral. Lahan gambut dengan muka air stabil pada ambang 40 cm tidak mudah terbakar secara alami.
“Jika kebakaran tetap terjadi, maka penyebab utama hampir pasti adalah aktivitas manusia,” ungkap dia.
Hal ini menjadi dasar penting dalam memperkuat langkah penegakan hukum. Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2019, telah diinstruksikan untuk mengaktifkan segala bentuk penegakan hukum kepada pelaku yang melakukan pembakaran hutan dan lahan. Ia meminta semua lapisan masyarakat untuk terus berupaya melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
“Langkah hukum bukan hanya bersifat reaktif, tetapi sinyal tegas bahwa negara hadir melindungi hak hidup masyarakat dari ancaman bencana ekologis,” tegas dia.
Baca juga: Varietas Padi IPB 11S Bepe Cocok Ditanam di Lahan Dekat Pantai
OMC di Geopark Kaldera Toba
OMC juga dilakukan secara intensif di wilayah Geopark Kaldera Toba, Sumatra Utara (Sumut). Upaya tersebut bertujuan untuk aksi dini menekan risiko karhutla serta meningkatkan ketersediaan air di kawasan strategis ini.
Langkah strategis ini diambil berdasarkan permintaan Gubernur Sumatra Utara kepada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan prioritas OMC untuk mengandalikan karhutla di kawasan vital Geopark Kaldera Toba. Berdasarkan data Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD Sumut, wilayah tersebut menjadi salah satu area paling terdampak.
Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG, Tri Handoko Seto menjelaskan operasi yang dimulai sejak 26 Juli hingga 31 Juli 2025 ini telah menunjukkan hasil positif. Hujan terpantau di Kabupaten Simalungun yang menjadi salah satu area target utama.
Baca juga: Prasasti Yupa Kerajaan Kutai Lebih Tua, Tapi Belum Masuk Memory of the World UNESCO
”Hujan diharapkan tidak hanya membantu upaya pemadaman lahan yang terbakar. Namun juga berperan penting membasahi lahan gambut agar tidak mudah terbakar kemudian hari dan menambah cadangan air di sekitar Danau Toba,” papar Seto, Selasa, 29 Juli 2025.
Lebih lanjut, BMKG telah melaksanakan lima sorti penyemaian menggunakan pesawat Casa 212 dari Skadron Udara 4 Abdulrachman Saleh Malang dengan total bahan semai yang digunakan mencapai 3.300kg NaCl. Rute penyemaian mencakup area-area kunci di sekitar Geopark Kaldera Toba, seperti Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Pulau Samosir, dan Kabupaten Asahan.
Sebelumnya, pelaksanaan operasi ini dinilai sangat mendesak. Sebab, hasil analisis BMKG menunjukkan puncak musim kemarau di wilayah ini jatuh pada periode Juli hingga Agustus 2025. Situasi menjadi semakin krusial karena operasi ini digelar tepat usai agenda Revalidasi Toba Caldera UNESCO Global Geopark yang berlangsung pada 21-25 Juli 2025.
Baca juga: Ranggah Kijang Bercabang Dua, Ranggah Rusa Bercabang Banyak
Kegiatan revalidasi tersebut mencakup tujuh kabupaten di lingkar Toba, yaitu Kabupaten Toba, Samosir, Simalungun, Karo, Dairi, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Utara, yang kini menjadi target utama upaya pembasahan lahan.
Direktur Tata Kelola Modifikasi Cuaca BMKG, Edison Kurniawan menjelaskan teknik yang digunakan dalam operasi ini adalah melibatkan penyaluran material NaCl ke dalam awan melalui pesawat terbang yang memicu proses kondensasi dan mempercepat terbentuknya hujan.
“Modifikasi cuaca ini merupakan salah satu bentuk aksi kesiapsiagaan pemerintah dalam mitigasi bencana hidrometeorologi di Indonesia,” ujar dia.
Adanya intervensi cuaca ini, pemerintah berharap dapat secara signifikan menekan jumlah titik panas (hotspot) dan mencegah meluasnya api yang dapat mengancam status Toba Caldera sebagai UNESCO Global Geopark. [WLC02]
Discussion about this post