Sementara nelayan Pulau Sangiang, Sufyan Tsauri mengaku bahwa ia sebagai masyarakat yang hidup di pulau kecil tidak memahami apa itu ekonomi biru. Pada saat yang sama, ia bersama puluhan orang di Pulau Sangiang menghadapi ekspansi perusahaan pariwisata yang mengancam kehidupan, baik di darat maupun di laut.
“Artinya, apa yang dibicarakan para pemangku kepentingan tidak sejalan dengan yang dihadapi masyarakat di tingkat bawah,” kata Sufyan.
Ia mendesak pemerintah Indonesia untuk membela hak masyarakat pesisir di Pulau Sangiang yang terus terancam, baik di darat dan terutama di laut. Jumlah keluarga di sana yag dulu mencapai 220 keluarga, kini hanya tersisa 43 keluarga.
“Jumlah kami terus mengalami penurunan akibat ekspansi industri pariwisata, sementara pemerintah terus mendorong pariwisata skala besar yang akan menguasai darat dan laut,” keluh dia.
Baca Juga: Drone Wingtra Gen-2 Memetakan Daerah Rawan Banjir Lahar Hujan Gunung Ibu
Laut untuk Rakyat
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin menyatakan dorongan untuk menambang pasir laut sekaligus memperluas ekonomi biru menunjukkan pemerintah Indonesia tidak bekerja untuk mewujudkan laut yang sehat untuk sebesar-besar kepentingan masyarakat pesisir. Melainkan untuk sebesar-besar kepentingan swasta .
“Pemerintah tidak bekerja tanpa menjalankan mandat konstitusi, yaitu laut untuk rakyat, bukan untuk korporasi,” tegas Parid.
Tambang laut, misalnya, hanya menguntungkan 66 perusahaan asing, baik yang menjadi calon pembeli pasir laut seperti Singapura, China, Johor (Malaysia), dan Brunei, juga pemilik kapal asing seperti dari Belanda, Belgia, Jepang, Singapura, dan China. Langkah ini kontradiktif karena pemerintah sering menjual wacana “keberlanjutan di laut” di berbagai forum internasional di bawah payung ekonomi biru.
Baca Juga: Jampiklim Desak Pemerintah Cabut Regulasi dan Proyek yang Eksploitasi Alam
Pertambangan pasir laut sebenarnya tidak menguntungkan, malah merugikan. Kebijakan ini tidak akan mampu mewujudkan Indonesia Emas 2045 seperti selama ini digembar-gemborkan, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Sebaliknya, melalui obral pasir laut akan melahirkan kerusakan ekologis berdimensi luas dan jangka panjang, termasuk melanggengkan kemiskinan bagi masyarakat pesisir.
“Indonesia Emas Tahun 2045 lebih layak disebut sebagai Indonesia Cemas 2045,” tukas Parid.
Terkait besaran PNBP untuk pemanfaatan pasir laut dalam negeri adalah 30 persen dari nilai harga patokan (HPP) pasir laut dikalikan volume pengambilan pasir laut. Serta 35 persen dari nilai HPP dikalikan volume pasir laut yang dikeruk. Walhi menilai kerusakan dan kehilangan keanekaragaman hayati, termasuk kerugian ekonomi nelayan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh dari PNBP.
Baca Juga: Penerima Kalpataru 2024 dari Profesor Mangrove hingga Pendaur Ulang Sampah
Di berbagai forum, Walhi bersama para ahli ekonomi kelautan menyampaikan kajian yang menyebut bahwa biaya yang diperlukan untuk pemulihan akibat kerusakan lingkungan dari tambang pasir laut lima kali lipat dari HPP. Jika HPP pasir laut untuk dalam negeri dipatok Rp93 ribu per meter kubik, sedangkan HPP untuk pemanfaatan di luar negeri ditetapkan Rp186 ribu per meter kubik (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2024), maka biaya pemulihan yang dibutuhkan sebesar Rp465 ribu untuk kerusakan akibat eksploitasi oleh perusahaan dalam negeri per meter kubik serta Rp930 ribu untuk pemulihan kerusakan akibat eksploitasi oleh perusahaan luar negeri per meter kubik.
Jika suatu perusahaan memperoleh kuota volume penambangan pasir laut sebesar 50 juta meter kubik untuk pemanfaatan luar negeri lalu dikenai tarif PNBP pasir laut sebesar Rp3,25 triliun, maka biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan kerusakannya sebesar Rp16,74 triliun.
“Jadi penambangan pasir laut hanya akan melanggengkan kerusakan di laut Indonesia, menghancurkan kehidupan lebih dari 8 juta keluarga pelaku perikanan tradisional, dan pemerintah Indonesia harus mengeluarkan dana pemulihan jauh lebih besar dari keuntungan yang diperoleh,” tegas Parid.
Baca Juga: Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024, Ini Pesan Walhi untuk Pemerintah Terpilih
Korban Ekonomi Biru
Terkait ekonomi biru, Walhi telah meluncurkan buku berjudul “Ekonomi Nusantara Antitesis Ekonomi Biru” pada 3 Juni 2024 lalu. Buku ini merupakan kritik serius Walhi terhadap ekonomi biru yang telah dikembangkan Pemerintah Indonesia setelah dipromosikan oleh lembaga pendanaan multirateral, seperti Bank Dunia.
Ekonomi biru merupakan metamorfosis dari ideologi kapitalisme global yang digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya kelautan. Ekonomi biru akan mendorong dan mempercepat perampasan ruang laut (ocean grab). Istilah ‘perampasan lautan’ digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap kehancuran sumber daya laut, sekaligus kehancuran kehidupan masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil.
Di sejumlah negara, ekonomi biru meminggirkan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Di Zanzibar, Tanzania, dan Chile, ekonomi biru melahirkan diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan melalui prosedur ketidakadilan pada perikanan skala kecil.
Baca Juga: Din Syamsuddin, Muhammadiyah Harus Tolak Konsesi Tambang karena Lingkaran Setan
Di negara Palau dan Pohnpei, ekonomi biru menyebabkan tragedi komoditas yang menyebabkan tingkat deplesi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, kesenjangan dan kemiskinan meningkat serta krisis ekologi, dan perubahan iklim kian masif.
Di Papua Nugini, ekonomi biru terbukti menggerus makna geo-spiritual masyarakat pulaunya, mengganggu mata pencaharian masyarakat pulau, degradasi sumber daya alam dan kerusakan ekologi pulau kecil.
Sementara di Namibia, ekonomi biru hanya menjadi justifikasi proyek-proyek pertambangan laut dalam, mendorong degradasi lingkungan dan dampak sosial yang negatif, terutama terhadap mata pencaharian dalam sektor perikanan Namibia.
Di Seychelles, sebuah negara Afrika di Samudera Hindia, ekonomi biru menyebabkan industri perikanan tunanya menguasai armada perusahaan ikan Uni Eropa. Dampaknya, perikanan skala kecil hingga masyarakat adat yang terpinggirkan. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post