Kejadian ekstrem secara waktu lebih lama karena memiliki setidaknya dua ciri: persisten atau bertahan lama dan sustain atau terus berlanjut. Secara skala spasial pun lebih luas karena mengacu pada gangguan cuaca skala sinoptik dalam rentang skala spasial ratusan hingga ribuan kilometer. Selan itu, dampak merusak dari suatu kejadian ekstrem bersifat katastropik atau massal, dapat menelan korban ratusan bahkan ribuan jiwa.
Baca Juga: Gempa Dangkal di Selatan Kota Denpasar Bali di Akhir Maret 2023
Kajian terbaru yang dilakukan tim di BRIN menunjukkan, kejadian ekstrem mengalami peningkatan karena faktor-faktor penyebabnya semakin intensif terjadi di Indonesia. Lantas, sejak kapan perubahan iklim itu terjadi?
Sejak tahun 1880 hingga 1979, suhu bumi tidak pernah mengalami anomali positif dengan tren yang terus meningkat. Padahal rentang waktunya sangat lama. Masa itu, anomali suhu global di atmosfer negatif atau mendingin. Baru sejak tahun 1940, suhu bumi mengalami fluktuatif. Anomalinya berubah positif – negatif lagi – naik sedikit positif lagi – mendingin lagi. Inilah yang dinamakan dengan Natural Variability Climate.
Namun sejak tahun 1980 sampai sekarang, para ilmuwan dunia memperhatikan peningkatan suhu yang naik sejak tahun tersebut tidak pernah turun lagi. Dari sinilah, para ilmuwan kemudian menemukan bahwa konsentrasi CO2 menjadi jawaban atas tidak menurunnya temperatur global.
Baca Juga: Presiden Jokowi Evaluasi Kawasan Bekas Tambang di Indonesia
“Sejak saat itu, manusia tidak berada lagi pada ranah variabilitas iklim. Melainkan ranah perubahan iklim,” kata Erma.
Perkiraan pemanasan global hingga Februari 2023 adalah 1,21 derajat celsius. Lantaran bumi sudah berada di domain perubahan iklim, tidak akan pernah ada lagi penurunan suhu.
“Itulah yang ingin diredam untuk memperlambat laju kenaikannya,” kata Doktor Sains Kebumian lulusan ITB tersebut. [WLC04]
Sumber: BRIN
Discussion about this post