Wanaloka.com – Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh di penghujung November 2025 meninggalkan jejak kehancuran luar biasa. Hujan deras yang turun terus-menerus selama beberapa hari menyebabkan sungai-sungai meluap dan lereng perbukitan runtuh. Ratusan desa terendam banjir dan infrastruktur vital terputus, dan banjir bandang inipun menelan ratusan korban jiwa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sejak Januari 2025 hingga November 2025 telah tercatat 2.726 kejadian bencana hidrometeorologi. Banjir bandang akhir November tersebut menelan lebih dari 400 korban jiwa di tiga provinsi terdampak. Gubernur Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan dan Gubernur Aceh serentak menetapkan status tanggap darurat bencana selama 14 hari sejak akhir November 2025.
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai Universitas Gadjah Mada (UGM), Hatma Suryatmojo menyatakan bencana banjir bandang akhir November 2025 itu sejatinya bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Para ahli lain pun menilai, fenomena ini bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang kian meningkat dalam dua dekade terakhir. Kombinasi faktor alam dan ulah manusia berperan di baliknya.
Baca juga: Kerugian Bencana Ekologis Sumatra Rp68,67 Triliun, Tak Sebanding Sumbangan dari Tambang dan Sawit
Hutan di hulu DAS jadi penyangga hidrologis
Curah hujan memang sangat tinggi kala itu. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, beberapa wilayah di Sumatra Utara diguyur lebih dari 300 milimeter hujan per hari pada puncak kejadian. Curah hujan ekstrem dipicu dinamika atmosfer luar biasa, termasuk adanya Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka akhir November 2025.
“Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah rapuhnya benteng alam di kawasan hulu,” Hatma di Kampus UGM, Senin, 1 Desember 2025.
Kerusakan ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam pandangan Hatma telah menghilangkan daya dukung dan daya tampung ekosistem hulu untuk meredam curah hujan tinggi. Hilangnya tutupan hutan berarti hilang pula fungsi hutan sebagai pengendali daur air kawasan melalui proses hidrologis intersepsi, infiltrasi, evapotranspirasi, hingga mengendalikan erosi dan limpasan permukaan. Akhirnya memicu erosi masif dan longsor yang menjadi cikal bakal munculnya banjir bandang.
Padahal hutan di wilayah hulu DAS berperan vital sebagai penyangga hidrologis. Vegetasi hutan yang rimbun ibarat spons raksasa yang menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya agar tidak langsung terbuang ke sungai.
Baca juga: Update Bencana Sumatra, Korban Tewas 442 Orang Terbanyak di Sumut
Berbagai hasil penelitian di hutan tropis alami di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan kemampuan hutan untuk menahan dan menampung air hujan di tajuk (intersepsi) mencapai 15-35 persen dari hujan.
Permukaan tanah yang tidak terganggu mampu memasukkan air ke dalam tanah (infiltrasi) hingga 55 persen dari hujan. Limpasan permukaan (surface runoff) yang mengalir ke badan sungai hanya tersisa 10-20 persen saja. Belum lagi kemampuan hutan untuk mengembalikan air ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi yang bisa mencapai 25-40 persen dari total hujan.
Dengan demikian, hutan menjaga keseimbangan siklus air, mencegah banjir di musim hujan sekaligus menyediakan aliran dasar saat musim kering. Sebaliknya, ketika hutan hulu rusak atau gundul, siklus hidrologi alami itu ikut terganggu dan semua fungsi hutan berpotensi hilang. Peran hutan untuk intersepsi, infiltrasi dan evapotranspirasi akan hilang.
“Air hujan yang deras tak lagi banyak terserap karena lapisan tanah kehilangan porositas akibat hilangnya jaringan akar. Akibatnya, mayoritas hujan menjadi limpasan permukaan yang langsung mengalir deras ke hilir,” jelas dia.
Baca juga: Tiga Provinsi Sumatra Kewalahan, Akademisi dan Masyarakat Sipil Desak Status Bencana Nasional
Di sisi lain, hutan yang masih utuh dinilai memiliki ambang batas kemampuan untuk menampung hujan yang jatuh. Pada kondisi hujan ekstrem, kemampuan menampung terlalu banyak akan meningkatkan potensi kejadian longsor.
Material longsor berupa tanah, batu dan batang pohon akan menimbun badan sungai dan menciptakan bendungan alami. Volume air yang besar dalam waktu singkat membuat sungai tak mampu menampung dan bendungan alami ikut jebol, sehingga terjadilah banjir bandang. Tanah yang tidak lagi dipertahankan akan mudah tererosi, material lumpur dan pasir terbawa ke sungai, mengendap dan mendangkalkan alur sungai.
“Pendangkalan dan penyempitan sungai akibat sedimen akhirnya memperbesar risiko luapan banjir. Hutan hulu yang hilang, berarti hilangnya sabuk pengaman alami bagi kawasan di bawahnya,” ungkap Dosen Fakultas Kehutanan UGM ini.
Akumulasi dosa ekologis
Hatma turut menyayangkan terjadinya deforestasi masif yang telah berlangsung di banyak kawasan hulu Sumatra. Di Aceh, misalnya, hingga tahun 2020 sekitar 59 persen wilayah provinsi ini (sekitar 3,37 juta hektare) masih berupa hutan alam. Namun, data kompilasi Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh dan lembaga lingkungan menunjukkan provinsi ini kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan dalam kurun 1990–2020. Artinya, meski tutupan hutan Aceh relatif masih luas, laju kehilangan hutannya signifikan sehingga meningkatkan kerentanan terhadap banjir.
Baca juga: Jatam Tegaskan Longsor dan Banjir Bandang di Sumatra Akibat Ledakan Izin Ekstraktif
Kondisi lebih memprihatinkan tampak di Sumatra Utara. Tutupan hutan Sumatra Utara tinggal sekitar 29 persen luas daratan (sekitar 2,1 juta ha) pada tahun 2020. Hutan tersisa pun tersebar dan terfragmentasi di pegunungan Bukit Barisan bagian barat (termasuk sebagian Taman Nasional Gunung Leuser) dan enclave konservasi seperti di wilayah Tapanuli.
Salah satu benteng terakhir hutan Sumatra Utara adalah ekosistem Batang Toru di Tapanuli. Wilayah hutan tropis lebat inipun, kini terdesak aktivitas manusia. Ekosistem Batang Toru terus terdegradasi akibat maraknya konsesi dan aktivitas perusahaan, mulai dari penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas. Hutan yang terfragmentasi dan tertekan ini kehilangan sebagian besar fungsi ekologisnya sebagai pengendali hujan dan penahan banjir.






Discussion about this post