Wanaloka.com – Usai lebih dari satu dekade perjuangan tanpa henti, warga pulau kecil Wawonii di Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara akhirnya memenangkan salah satu babak penting dalam perlawanan mereka. Menteri Kehutanan yang sebelumnya memberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada anak usaha Harita Group, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) untuk melaukan penambangan nikel di Pulau Wawonii, kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 264 Tahun 2025 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.576/Menhut-II/2014 itu.
Surat itu diterima Perwakilan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang merupakan bagian dari Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil (TAPaK) pada 16 Juni 2025. Pencabutan IPPKH itu menjadi berita baik di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap maraknya pertambangan di pulau-pulau kecil, seperti polemik tambang di wilayah Raja Ampat, dan protes keras atas ekspansi tambang di pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia.
Keputusan ini mencabut izin pemanfaatan kawasan hutan seluas 707,10 hektare di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. SK tersebut ditetapkan pada 19 Mei 2025, lengkap dengan lampiran peta wilayah.
Baca juga: Status Awas Lagi, Tinggi Kolom Abu Erupsi Lewotobi Laki-laki Capai 10 Km Lebih
“Secara hukum, anak usaha Harita Grup ini tidak lagi memiliki dasar legal untuk beraktivitas di kawasan hutan Pulau Wawonii,” kata Kepala Divisi Hukum Jatam, Muh Jamil, Selasa, 17 Juni 2025.
Bukti negara dan korporasi salah
Pencabutan IPPKH ini merupakan buah dari perjuangan panjang masyarakat Pulau Kecil Wawonii dalam menolak perampasan ruang hidup yang dibungkus atas nama investasi tambang nikel. Selama bertahun-tahun, warga, terutama perempuan petani dan nelayan, menghadapi berbagai bentuk kekerasan dan tekanan. Mulai dari intimidasi, kriminalisasi, hingga perusakan kebun, pencemaran lingkungan, dan rusaknya sumber air bersih yang diduga kuat sebagai akibat langsung dari aktivitas pertambangan PT GKP yang difasilitasi negara melalui perizinan.
“Sedikitnya 44 warga Wawonii telah dilaporkan ke polisi dengan berbagai tuduhan yang cenderung mengada-ada dan represif,” ungkap warga Wawonii, Hastoma.
Baca juga: Teknik Alternate Wetting and Drying Hasilkan Padi Berkualitas dan Rendah Karbon
Tuduhan tersebut mencakup:
Pertama, pencemaran nama baik, menggunakan pasal karet dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kedua, menghalangi aktivitas tambang, sebagaimana diatur dalam Pasal 162 UU No. 4 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ketiga, tuduhan dalam KUHP, seperti Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 338 jo Pasal 53 ayat (1) tentang percobaan pembunuhan, Pasal 333 tentang perampasan kemerdekaan.
Baca juga: Dokumen Second NDC Disusun, Menhut Minta Lebih Realistis dan Teknokratis
Pertambangan ilegal dan merusak
Dari seluruh korban kriminalisasi tersebut, dua warga dipenjara dengan tuduhan berat berupa penganiayaan dan percobaan pembunuhan berencana. Tuduhan itu dinilai janggal dan mengada-ada. Tiga warga lainnya dikurung selama berminggu-minggu dan baru dibebaskan setelah menyetujui pelepasan lahan mereka kepada perusahaan.
Dengan demikian, pencabutan IPPKH tidak bisa dimaknai sekadar sebagai koreksi administratif. Melainkan bentuk pengakuan negara atas pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan yang telah lama terjadi.
“Ini langkah korektif terhadap praktik perampasan ruang hidup rakyat yang selama ini dilanggengkan negara melalui instrumen hukum yang menyimpang dari keadilan,” tegas Sekretaris Jenderal Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (Kiara), Susan Herawati.
Baca juga: Gedung Backup Sistem Peringatan Dini Multi Bahaya Beroperasi 24 Jam Merespons Bencana
Kasus Wawonii memperlihatkan dengan jelas bahwa praktik pertambangan di pulau kecil hampir selalu berujung pada konflik horizontal dan kriminalisasi warga, kehancuran ekologis permanen, dan marginalisasi sosial-ekonomi masyarakat lokal.
Padahal, Pulau Wawonii sebagai pulau kecil dilindungi hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 dan 35 huruf (k) UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), serta UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3/2020).
Aturan itu menyatakan, bahwa kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan di tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Maryati Surya, Tupai dan Bajing Itu Tak Sama
Deretan kemenangan hukum rakyat
Edy Kurniawan dari YLBHI membeberkan, lima tahun terakhir telah menunjukkan bahwa perlawanan masyarakat terhadap tambang di pulau kecil mampu menghasilkan kemenangan hukum. Beberapa preseden penting:
Pertama, Putusan MA No. 205 K/TUN/2016, bahwa masyarakat Pulau Bangka, Sulawesi Utara menang gugatan terhadap izin tambang bijih besi PT MMP.
Kedua, Putusan MA No. 57 P/HUM/2022 yang menghapus seluruh areal tambang di kawasan APL seluas 41 hektare di Wawonii.
Baca juga: Pro Kontra Isu Tambang Nikel, Kemenpar Sebut Raja Ampat Aman Dikunjungi
Ketiga, Putusan MA No. 14 P/HUM/2023 yang menghapus seluruh areal tambang di kawasan hutan Wawonii seluas 2.047 hektare.
Keempat, Kabupaten Konawe Kepulauan adalah kabupaten nol tambang, baik di APL maupun kawasan hutan.
Discussion about this post