Wanaloka.com – Indonesia tengah menghadapi kegentingan demokrasi dan iklim. Menjelang tenggat penyerahan dokumen komitmen kontribusi nasional kedua (Second Nationally Determined Contribution/SNDC) yang rencananya jatuh pada September 2024, koalisi masyarakat sipil mendorong agar Pemerintah menjadikan dokumen nasional ini sebagai momentum koreksi komitmen iklim yang lebih adil dengan proses yang lebih demokratis dan partisipatif.
Sesuai pernyataan Pemerintah pada Februari lalu, bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang mempersiapkan dokumen tersebut. KLHK mewakili Pemerintah Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani perubahan iklim global, atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
“Pemerintah harus menerapkan keadilan sosial dengan mengakui hak dan memenuhi kebutuhan spesifik dari subyek masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim, seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat dan lainnya. Hanya dengan cara itulah dapat terwujud keadilan iklim atau transisi yang adil,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono dalam peluncuran dokumen Rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan yang didukung oleh 64 lembaga masyarakat sipil Indonesia. Dokumen ini sudah diserahkan ke KLHK sebagai masukan dari masyarakat sipil.
Baca Juga: Nuraini Hanifa, Sebagian Besar Gempa Megathrust di Sepanjang Sumatera
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bencana iklim melonjak 81 persen dari 1.945 insiden tahun 2010 menjadi 3.544 tahun 2022 dan berdampak pada lebih dari 20 juta orang.
Laporan IPCC (2023) mencatat 79 persen emisi gas rumah kaca global pada 2019 berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan bangunan. Kemudian 22 persen dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya. Sektor-sektor ini berkontribusi melalui alih fungsi lahan dan eksploitasi sumber daya alam.
Sejatinya, Pemerintah telah meluncurkan kebijakan untuk menangani perubahan iklim, termasuk komitmen emisi nol (Net Zero Emissions) pada 2060, Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim, Transisi Energi Nasional, Indonesia FOLU Net Sink 2030, dan Nilai Ekonomi Karbon.
Baca Juga: Ada Rahasia Karst dan Gua di Banggai Sulawesi Tengah yang Baru Terungkap
Sayangnya, ambisi ini belum cukup selaras dengan target global menurunkan emisi di angka 1.5 derajat Celcius. Bahkan target emisi nol pada 2060 yang Pemerintah Indonesia targetkan pun sebenarnya lebih panjang dari komitmen internasional yang sepakat mencapai emisi nol pada 2050.
Artinya, rakyat Indonesia dalam bahaya. Terutama, kelompok rentan seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat, buruh dan pekerja informal, kaum perempuan, penyandang disabilitas, anak-anak, orang muda, lansia, dan korban kekerasan berbasis gender menanggung dampak paling berat akibat perubahan iklim. Padahal, ketidakadilan iklim terjadi karena masyarakat adat dan kelompok rentan menanggung dampaknya, meskipun mereka bukan penyumbang emisi gas rumah kaca.
“Dalam sepuluh tahun ke belakang, kita menyaksikan bahwa aksi perubahan iklim di Indonesia justru membuat yang rentan semakin rentan. Alih-alih menurunkan target emisi gas rumah kaca, strategi pembangunan malah mengesahkan proses perusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat rentan. Kasus-kasus penambangan nikel, kawasan industri Rempang, kasus Wadas, bahkan pembangunan Ibu Kota Nusantara yang mengklaim sebagai ibu kota hijau rendah emisi pun mendorong perusakan lingkungan dan perampasan hak warga,” papar dia.
Baca Juga: Harman Ajiwibowo, Peran Pengaman Pantai Hadapi Dampak Perubahan Iklim
Kelompok rentan dalam bahaya
Dokumen “Rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan” mengelaborasi para subjek masyarakat rentan yang terus menanggung derita akibat dampak perubahan iklim maupun aksi untuk menanggulanginya. Padahal, bukan mereka yang menyebabkan perubahan iklim.
Misalnya masyarakat adat. Dalam dokumen sebelumnya, yakni dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang terbit tahun 2022 Pemerintah telah menyatakan menjunjung tinggi kewajiban untuk menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia dan hak masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim.
Sayangnya, hal dasar yang diminta justru abai dipenuhi, yakni pengakuan dan perlindungan wilayah adat beserta seluruh hak yang melekat. Badan Registrasi Wilayah Adat secara mandiri telah meregistrasi wilayah adat seluas 30,2 juta ha di mana 23,2 juta ha di antaranya adalah hutan adat. Tetapi selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo baru mengakui 1,1 persen hutan adat, alias seluas 265.250 hektar saja.
Baca Juga: Kemurai, Plastik Kemasan yang Dua Kali Terurai Lebih Cepat
“Meskipun masyarakat adat hanya mencakup 6,2 persen dari populasi global, mereka melindungi 80% dari keanekaragaman hayati dunia yang tersisa dan menjaga sepertiga hutan alam yang tersisa di dunia,” ujar Advokasi dan Peneliti Kebijakan WGII, Ihsan Maulana.
Dari pesisir, hasil survei pandangan nelayan tradisional terhadap dampak perubahan iklim yang dilakukan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada 2023 menggambarkan bahwa dampak perubahan iklim pada nelayan tradisional signifikan. Hasil survei menunjukan bawah 72 persen nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan, 83 persen nelayan mengalami penurunan keuntungan, dan 86 persen nelayan mengatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko kecelakaan.
“Situasi ini menunjukkan persoalan krusial yang dialami nelayan tradisional akibat perubahan iklim. Pada saat negara mengkampanyekan ikan sebagai sumber pangan bergizi, akan tetapi situasi nelayan tradisional malah semakin memburuk,” kata Ketua Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia, badan otonom dari KNTI, Hendra Wiguna.
Baca Juga: Kemurai, Plastik Kemasan yang Dua Kali Terurai Lebih Cepat
Untuk perempuan, kekeringan akibat perubahan iklim terbukti memberi beban ekstra bagi upayanya memenuhi kebutuhan air dan pangan untuk keluarga. Di Desa Kalikur dan Tobotani di Lembata Nusa Tenggara Timur, perempuan harus berjalan berkilo-kilometer untuk mencari air.
Bagi perempuan Dayak Ngaju di Kabupaten Kapuas, perempuan tidak lagi menanam benih lokal yang lebih bergizi karena masa tanam yang tidak lagi sesuai dengan musim. Akhirnya mereka harus membeli pangan dari luar desa. Di perkotaan, pengeluaran rumah tangga membengkak untuk membeli air bersih.
“Padahal, selain merupakan kelompok yang paling rentan, perempuan adalah kelompok yang paling tinggi daya tahannya menghadapi perubahan iklim,” kataKoordinator Program Solidaritas Perempuan, Andriyeni.
Baca Juga: Dua Sungai Meluap dan Merendam Dua Desa di Sanggau Kalimantan Barat
Bagi penyandang disabilitas, perubahan iklim membuat mereka semakin rentan karena berhadapan dengan hambatan struktural dan diskriminasi akibat akses terbatas pada sumber daya dan informasi strategis.
“Ketika bencana iklim melanda, penyandang disabilitas sering kali menjadi korban berlapis-lapis, dengan tingkat kematian empat kali lebih tinggi akibat kurangnya akses dan dukungan yang inklusif,” kata Fatum Ade, Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS).
Discussion about this post