Baca Juga: Gempa di Selatan Jawa Malang Dipicu Aktivitas Dalam Lempeng Indo Australia
Walhi juga menyampaikan kritik terhadap pernyataan Jokowi yang mengajak untuk memperkuat hydro-diplomacy untuk kerjasama konkret dan inovasi serta menjauhi persaingan dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas.
“Ajakan hydro-diplomacy ini tidak lain adalah ajakan Jokowi kepada investor asing untuk terus berinvestasi di sektor air. Ini semakin memperkuat swastanisasi dan privatisasi air di Indonesia,” tukas Parid.
Di tengah situasi krisis iklim yang semakin memburuk, Jokowi seharusnya melakukan diplomasi keadilan iklim (climate justice diplomacy) yang menuntut negara-negara utara serta korporasi multinasional untuk menurunkan emisinya. Lebih dari itu, Jokowi seharusnya mendesak negara-negara utara untuk mengevaluasi bisnis perusahaan air di Indonesia. Prancis misalnya, seharusnya didesak untuk mengevaluasi perusahaan Danone dan Palyja.
Baca Juga: Bencana Lahar Sumbar, Data Terkini Korban Meninggal 61 Orang
Kemudian saat membicarakan political leadership sebagai kunci sukses berbagai kerja sama menuju ketahanan air berkelanjutan, tidak akan terwujud. Terutama apabila Indonesia tetap dijadikan target investasi industri ekstraktif negara-negara lain, baik Uni Eropa, Amerika Serikat, dan China, atau perusahaan multinasional yang terus mengeruk mineral Indonesia, baik yang berada di darat, di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Air sebagai the Next Oil
Sebelumnya, saat membuka Sesi Pertemuan Tingkat Tinggi atau High Level Meeting Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) WWF ke-10 di Bali International Convention Center (BICC), Kabupaten Badung, Bali pada 20 Mei 2024, Jokowi menekankan urgensi kolaborasi global dalam mengelola sumber daya air untuk menghadapi tantangan yang makin kompleks masa depan. Ia menggambarkan air sebagai “the next oil”, sehingga air penting untuk keberlanjutan ekonomi dan ekologi global.
“Bank Dunia memperkirakan, kekurangan air bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen hingga tahun 2050. Kelangkaan air juga dapat memicu perang serta bisa menjadi sumber bencana. ’Too much water’ maupun ’too little water’, keduanya dapat menjadi masalah dunia,” kata Jokowi.
Baca Juga: World Water Forum 2024, Walhi Bali: Stop Proyek Merusak Subak
Jokowi memaparkan upaya Indonesia dalammemperkuat infrastruktur air selama dekade terakhir, termasuk pembangunan 42 bendungan, 1,18 juta hektare irigasi, 2.156 kilometer pengendali banjir dan pengaman pantai, serta merehabilitasi 4,3 juta hektare jaringan irigasi.
“Air juga kami manfaatkan untuk membangun PLTS Terapung Waduk Cirata sebagai PLTS terapung, terbesar di Asia Tenggara,” jelas dia.
Ia juga menyatakan, WWF ke-10 strategis untuk merevitalisasi aksi nyata dan komitmen bersama dalam mewujudkan manajemen sumber daya air terintegrasi. Ia mendorong tiga hal. Pertama, meningkatkan prinsip solidaritas dan inklusivitas untuk mencapai solusi bersama, terutama bagi negara-negara pulau kecil serta yang mengalami kelangkaan air. Kedua, memberdayakan hydro-diplomacy untuk kerja sama konkret dan inovatif, menjauhi persaingan dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas. Ketiga, memperkuat political leadership sebagai kunci sukses berbagai kerja sama menuju ketahanan air berkelanjutan. [WLC02]
Sumber: Walhi, BPMI Setpres
Discussion about this post