Wanaloka.com – Tanggal 2 Oktober 2024 lalu, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, meresmikan pembentukan kesatuan tentara baru, yakni batalyon infanteri (Yonif) atau Yonif Penyangga Daerah Rawan di lima daerah Papua untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah.
Lima batalyon tersebut adalah Yonif 801/Kesatria Yuddha Kentsuwri di Kabupaten Keerom, Papua; Yonif 802/Wimane Mambe Jaya di Kabupaten Sarmi, Papua; Yonif 803/Nduka Adyatma Yuddha di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan; Yonif 804/ Dharma Bhak Asasta Yudha di Kabupaten Merauke, Papua Selatan; Yonif 805/ Kesatria Satya Waninggap di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
“Lima batalyon di lima daerah di Papua bakal bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan masyarakat setempat untuk menanam komoditas pangan utama, salah satunya padi,” jelas Agus dalam jumpa pers selepas acara persemaian di lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Jakarta pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Baca Juga: Tanaman Endemik Smilax nageliana untuk Pakan Ternak Bisa Terancam Punah
Solidaritas Merauke dan Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digoel menilai kebijakan pembentukan Batalyon Infanteri ini menimbulkan kekhawatiran masyarakat adat Malind, Maklew, Mayo Bodol, Khimaima, dan Yei di Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Sebab mereka sedang terancam dan terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan Pangan dan Energi di Kabupaten Merauke. Proyek itu menggarap cetak sawah baru, perkebunan tebu dan pabrik bioetanol yang akan menggunakan dan sedang menggusur tanah adat, dusun dan hutan adat seluas lebih dari dua juta hektare.
Praktik PSN Merauke melibatkan Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional, pemerintah daerah serta perusahaan swasta, Jhonlin Group, First Resources Group, KPN Corp. Group.
Baca Juga: Kritik KPA atas Kinerja DPR 2019-2024, Konflik Agraria Terus Menumpuk
Koordinator Forum Masyarakat Adat Malind Anim Kondo – Digoel, Simon Balagaize menjelaskan masyarakat adat Maklew di Distrik Ilwayab, Tubang dan Okaba secara terbuka di hadapan pejabat Gubernur Papua Selatan telah menyatakan menolak proyek cetak sawah baru dan tanaman lain. Sebab proyek itu menggusur tanah, dusun dan hutan adat, sumber kehidupan masyarakat adat tanpa ada musyawarah dan persetujuan secara bebas dari masyarakat adat dan pemilik tanah.
“Namun perusahaan yang dikawal aparat militer bersenjata secara sewenang-wenang menggusur dan merampas tanah adat,” jelas Simon.
Discussion about this post