Pengendalian Karhutla
Data hotspot dan luas karhutla menjadi indikasi keberhasilan upaya pengendalian karhutla di Indonesia. Pada tahun 2015, data hotspot dari satelit Terra/Aqua (MODIS NASA) 70.971 titik, 2016: 3.844 titik, 2017: 2.440 titik, 2018: 9.245 titik, 2019: 29.341 titik, 2020: 2.568 titik, 2021: 1.451 titik, 2022: 1.297 titik, dan 2023: 10.673 titik.
Baca Juga: Catatan KontraS Jelang Debat Keempat Pilpres, Banyak PSN Langgar HAM
Tren penurunan titik panas dinilai ekuivalen dengan luas area yang terbakar. Luas karhutla tahun 2015 hingga 2023 berdasarkan citra satelite landsat 8 OLI/TIRS yang di overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni sebagai berikut: 2015: 2.611.411 ha, 2016: 438.368 ha, 2017: 165.484 ha, 2018: 529.267 ha, 2019: 1.649.258 ha, 2020: 296.942 ha, 2021: 358.864 ha,2022: 204.896 ha, 2023: 994.313 ha.
Kebakaran hutan dan lahan tahun 2023 berhasil ditekan lebih kecil sebesar 30,80 persen dibanding tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama. Bahkan kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun.
Kondisi ini menjadi indikasi keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Kenaikan hotspot yang terjadi pada tahun 2019 dan tahun 2023 disebabkan El Nino. Namun, Indonesia diklaim berhasil memitigasi fenomena El Nino sehingga jumlah hotspot dan luas tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Jika dibandingkan karhutla tahun 2019 dengan kondisi akibat dampak El-Nino yang serupa dengan tahun 2023, maka luas karhutla tahun 2023 menurun.
Baca Juga: Siklon Tropis Anggrek Terjadi di Perairan dan Berdampak di Daratan
Indonesia juga berhasil menekan kejadian karhutla, khususnya di lahan gambut sehingga terjadi penurunan luas karhutla dari gambut. Pada tahun 2015 terdapat luas karhutla di lahan gambut seluas 891.275 hektar atau 34 persen dari total luas karhutla, tahun 2019 turun menjadi 483.111 hektar atau 30 persen dari total luas karhutla, pada tahun 2023 semakin turun menjadi 182.789 hektar atau 16,38 persen dari total luas karhutla. Selain itu, pengaturan tinggi muka air tanah 0,4 m ternyata tidak menyebabkan penurunan produktivitas perkebunan sawit. Penelitian menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas antara 13-30 persen.
“Data KLHK mencatat luas karhutla dari tahun 2015 menunjukkan tren menurun hingga Oktober 2023. Sejak karhutla tahun 2015 (baseline), adanya perubahan paradigma pengendalian karhutla membuat luas karhutla di Indonesia menurun signifikan 94 persen – 37 persen,” kata Nunu.
Konsekuensinya, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan Indonesia, tidak lagi sebesar itahun-tahun sebelumnya, seperti pada kondisi 2015 dan 2019. Indonesia tidak lagi menjadi negara penghasil emisi 5 terbesar secara global. Bahkan pada tahun 2021 tercatat pengemisi pada ranking ke-9 dengan angka penurunan emisi 890 juta Ton CO2eq.
Baca Juga: Pulau Jawa Waspada Hujan Lebat dan Ombak Tinggi 20-27 Januari
Menurut data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) dari Uni Eropa, menunjukkan Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok negara-negara penyumbang emisi terbesar dari karhutla. Negara-negara maju, seperti AS dan Kanada, termasuk di dalam kelompok tersebut.
Meski begitu, KLHK mengklaim tetap konsisten menjalankan berbagai upaya untuk mencegah karhutla, mulai dari monitoring, penetapan kebijakan, pencegahan, hingga penegakan hukum. Pada tahun 2024.
“Kami sudah merencanakan upaya mitigasi kejadian karhutla dengan meningkatkan upaya-upaya pengendalian karhutla dengan melaksanakan patroli terpadu, TMC, monitoring hotspot, dan pemberdayaan masyarakat yang berada di wilayah rawan karhutla,” kata Nunu. [WLC02]
Sumber: PPID KLHK
Discussion about this post