Wanaloka.com – Pembahasan revisi Undang-Undang Kehutanan (UUK) Nomor 41 Tahun 1999 yang sedang berlangsung pada pertengahan 2025 di Komisi IV DPR RI ini merupakan momentum penting untuk mengakhiri tata kelola hutan sejak era kolonial. Koalisi masyarakat sipil dari berbagai organisasi menyerukan untuk mencabut UUK lama dan mendesak DPR membentuk UUK baru yang lebih adil dan melindungi ekosistem hutan.
Menurut koalisi, sudah saatnya Indonesia tidak lagi menempatkan hutan sebagai aset negara yang bebas dieksploitasi. Selama 26 tahun telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan. Terbukti, konflik tenurial yang tidak selesai; impunitas perusahaan penghancur hutan; perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan.
Padahal hutan adalah ekosistem utuh dengan manusia di dalamnya. Baik masyarakat adat dan komunitas lokal, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, serta aktivitas sosial dan ekonomi yang terkait dengan hutan, tak bisa dipisah-pisahkan.
Baca juga: Antisipasi Cuaca Ekstrem, Petani Perlu Prediksi Detail Cuaca Masa Depan hingga Level Lahan
Koalisi memandang secara filosofis, UU 41 Tahun 1999 telah melakukan kesalahan menafsirkan hak menguasai negara dan gagal mencapai janji konstitusi untuk mencapai “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Secara sosiologis, UU ini telah mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis, dan acuh terhadap pemaknaan hutan menurut masyarakat-sosiokultural.
Sementara secara yuridis, UU 41 Tahun 1999 telah banyak dibongkar pasang. UU ini telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Perpu, Putusan MK dan UU yang mencabut pasal-pasal di UU Kehutanan.
“Karena itu, koalisi berpendapat UU Kehutanan lama sudah tidak layak lagi dipertahankan,” kata Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia, saat berbicara di konferensi pers daring Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Kehutanan 2025, 14 Juli 2025. Acara itu digelar sehari sebelum Rapat Dengar Pendapat DPR RI yang berlangsung hari ini, Selasa, 15 Juli 2025 ini.
Baca juga: Empat Rekomendasi Bagi Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat
Hadir dalam kesempatan itu, para juru bicara dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), HuMa, Madani Berkelanjutan, Kaoem Telapak, Greenpeace Indonesia dan Women Research Institute.
Menurut Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, selama ini cara negara mengurus dan mengelola hutan hanya mengutamakan kepentingan ekonomi yang menguntungkan segelintir orang. Sedangkan, akses kelola masyarakat melalui hutan adat dan hak akses melalui perhutanan sosial sedikit sekali.
“Pengalaman Walhi mendampingi 1,5 juta hektare yang tumpang tindih wilayah kelola hutan rakyat, hanya 16 persen yang mendapat pengakuan sepanjang sepuluh tahun,” kata Uli.
Baca juga: Asap Minyak Goreng hingga Residu Rokok Tingkatkan Risiko Kanker Paru Perempuan
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra menyatakan bahwa pemerintah harus menghentikan penghancuran hutan alam, baik legal maupun ilegal. Pemberian izin konsesi kehutanan di bawah rezim UU Kehutanan hanya memandang hutan sebagai sumber penerimaan negara, ketimbang penyangga kehidupan.
Misalnya dalam hal penertiban kawasan hutan yang hendak mengejar penerimaan negara hanya mengalihkan pelaku deforestasi. Bukan menyelesaikan masalah mendasar tata kelola kehutanan.
Setidaknya terdapat 42,6 juta hektare hutan alam di dalam tiga kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, tetap dan yang dapat dikonversi) yang terancam deforestasi di masa mendatang. Kebijakan moratorium pemberian izin di hutan dan gambut di level inpres pun tidak cukup kuat. Mengingat faktanya, deforestasi dan kebakaran masih terjadi di area yang sudah dimoratorium. Data terakhir menunjukkan hilangnya 39 ribu hektare hutan alam di area moratorium sepanjang 2024.
Baca juga: Demi Green Card UNESCO, Promosi Wisata dari Humbang Hasundutan hingga Toba
“Sudah saatnya UU Kehutanan yang baru menghentikan praktik “monetisasi hutan” dan menyelamatkan 90,7 juta hektar hutan alam tersisa, memihak pada masyarakat adat, perlindungan biodiversitas dan iklim,” kata Refki.
Erwin Dwi Kristianto dari HuMa menawarkan tiga hal yang harus ada di UU Kehutanan yang baru. Meliputi transisi rezim kehutanan dari rezim pengurusan menjadi rezim pengelolaan, memastikan proses penetapan hutan adat menjadi bagian dari proses pengukuhan kawasan hutan serta pemulihan lahan hutan.
“Negara mestinya cukup mengelola saja, tidak menguasai tanah. Yang terjadi sekarang adalah negara mengurusi kawasan hutan, tapi tidak mengurus hutannya. Hutan-hutan yang gundul, tidak ada pohonnya, dianggap masuk kawasan hutan,” papar dia.







Discussion about this post