Wanaloka.com – Berkunjung ke Museum Gunung Api Batur di Kintamani, Bangli, Bali akan mendapatkan keanekaragaman wawasan yang ada di Gunung Batur. Baik terkait keanekaragaman geologi (geodiversity), keanekaragaman hayati (biodiversity) maupun keanekaragaman budaya (culture diversity).
Keanekaragaman itu bisa dilihat dari beragam koleksi di setiap lantai museum. Di lantai satu terdapat koleksi dan informasi mengenai terjadinya alam semesta, evolusi bumi, proses tektonik lempeng, proses geologi dari Pulau Bali, batuan pembentuk Pulau Bali. Termasuk proses evolusi caldera gunung batur purba, beserta contoh batuan hasil evolusi dan erupsi Gunung Batur.
Lantai dua di ruang biodiversity terdapat koleksi mengenai beragam flora dan fauna yang ada di kawasan gunung batur.
Baca Juga: Perbandingan Karhutla Saat El Nino di Indonesia Tahun 2015, 2019 dan 2023
“Salah satu yang menonjol adalah spesies lokal di sana, yaitu anjing kintamani,” jelas Kepala Museum Gunung Api Batur Suryo Hespiantoro saat menyambut kedatangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif beserta rombongan pada 6 Oktober 2023.
Seperti dalam lirik lagu grup musik Shaggydog, anjing Kintamani memiliki penampilan tubuh yang tergolong unik dan anggun. Anjing jenis ini berukuran kecil hingga sedang dan tubuhnya sedikit lebih panjang dari tinggi tubuhnya. Mereka mempunyai bulu yang tebal di sekitar leher dan ekor hasil adaptasi terhadap kondisi cuaca yang dingin. Bulu tersebut berguna untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap hangat. Anjing jenis ini tinggal di dataran tinggi, sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut.
Pada 20 Februari 2019, Federation Cynologique Internasionale (FCI) secara resmi mengumumkan anjing Kintamani diakui sebagai anjing trah dunia. Artinya, anjing jenis ini sejajar dengan anjing Chow-Chow dari China, anjing Samoyed dari Rusia, dan anjing Akita Inu dari Jepang.
Baca Juga: Penanganan Dampak Gempa Cianjur, BNPB Telah Gelontorkan Rp2 Triliun
“Proses anjing Kintamani untuk mendapatkan pengakuan dari internasional amat panjang. Butuh waktu sekitar 20 tahun dengan melibatkan banyak pihak, termasuk kalangan ahli,” ungkap Suryo.
Ruang selanjutnya adalah ruang keanekaragaman budaya. Di dalamnya terdapat rentetan koleksi sejarah perkembangan peradaban dan budaya. Koleksi awal menginformasikan, bahwa manusia pada zaman dahulu menggunakan peralatan sederhana dari batu untuk mendukung kehidupan sehari-hari.
Di sana terdapat sejumlah koleksi yang memberikan beberapa informasi terkait kebudayaan bercocok tanam, seperti ada alat penanggalan yang disebut Tika. Juga ada Lontar Aji Pari yang digunakan untuk guide line dalam pembenihan padi sampai pada waktu panen padi.
Baca Juga: Lewat Radio, BMKG Sebarluaskan Peringatan Dini Bencana hingga Daerah 3T
Discussion about this post