Wanaloka.com – Berdasarkan perhitungan internal, total estimasi jejak karbon (carbon footprint) dari seluruh satuan kerja Eselon II Pusat Kementerian Kehutanan (55 satuan kerja) pada tahun 2024 mencapai 21.475,46 ton CO₂e. Jejak karbon kelembagaan itu timbul dari berbagai aktivitas operasional, seperti penggunaan energi dan transportasi, perjalanan dinas, dan konsumsi sumber daya lainnya.
Sebagai bentuk mitigasi, penanaman pohon dipilih sebagai strategi kompensasi emisi. Asumsinya, satu pohon menyerap ± 22 kg CO₂ per tahun, dibutuhkan setidaknya 976.158 pohon, atau setara dengan 2.440 hektar areal tanam (dengan kepadatan 400 pohon per hektar).
Kementerian Kehutanan pun menggelar kegiatan “Kick-off Penanaman Pohon dalam Rangka Kompensasi Jejak Karbon Organisasi Kementerian Kehutanan” yang dipusatkan di Rumpin, Kabupaten Bogor, Selasa, 17 Juni 2025. Inisiatif ini juga diklaim menjadi kontribusi terhadap target nasional penanganan perubahan iklim, termasuk Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Baca juga: Nimmi Zulbainarni, Penambangan Raja Ampat Abaikan Valuasi Ekonomi untuk Keberlanjutan Alam
Agenda itu disebut Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni tonggak awal dimulainya tradisi baru di lingkungan Kementerian Kehutanan, yaitu menghitung jejak karbon institusional dan mengimbanginya secara nyata dengan menanam pohon. Serta secara simultan harus berupaya mengurangi jejak karbon ke depan.
“Saya percaya, perubahan besar yang berkelanjutan harus dimulai dari diri sendiri. Kesadaran personal itulah fondasi bagi lahirnya kebijakan yang baik dan perubahan struktural yang nyata,” ujar Raja Juli.
Aksi penanaman ini bertepatan dengan peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia pada 17 Juni. Tema tahun ini adalah “Restore the land. Unlock the opportunities (Pulihkan Tanah, Buka Peluang)”. Tema ini menyoroti bagaimana memulihkan fondasi alam yang salah satunya adalah tanah, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan ketahanan pangan dan air, mendukung aksi iklim, dan membangun ketahanan ekonomi.
Baca juga: Sorbatua Siallagan Bebas, AMAN Harap MA Konsisten Adili Perkara Serupa
Penanaman serentak dilakukan di berbagai lokasi dengan pusat kegiatan di Rumpin. Kegiatan hari pertama difokuskan di lahan seluas 2,05 hektare dengan jumlah bibit sebanyak 1.035 batang. Jenis bibit yang ditanam merupakan tanaman Multi-Purpose Tree Species (MPTS) yang memiliki manfaat ekologis, ekonomis, dan sosial.
Meliputi Nangka (50 batang), Durian (100 batang), Alpukat (55 batang), Jengkol (200 batang), Petai (130 batang), Jambu Citra (405 batang), Jambu Kristal (55 batang), Jambu Bol (20 batang), Matoa (5 batang), Belimbing (5 batang), Klengkeng (5 batang), Mangga (5 batang).
Secara kelembagaan, setiap Unit Kerja Eselon I juga diminta melaksanakan penanaman dan pemeliharaan di areal seluas 5.000 m² (200 lubang tanam) secara bertahap. Sebanyak 570 peserta berpartisipasi dalam kegiatan penanaman hari ini, terdiri dari pejabat struktural, staf, dan 400 lebih Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) dari berbagai unit kerja.
Baca juga: Bayu Eka Yulian, Negara Harus Jujur Pertambangan di Pulau Kecil Langgar UU dan Hak Masyarakat Adat
Penghematan energi jadi solusi
Raja Juli menyatakan, kegiatan ini bukan sekadar seremoni. Pemantauan pertumbuhan pohon akan terus dilakukan sebagai bagian dari sistem tanggung jawab keberlanjutan kementerian.
Ia juga menyampaikan bahwa sebagai institusi yang bertanggung jawab menjaga hutan dan alam Indonesia, Kementerian Kehutanan harus menjadi teladan. Bukan hanya lewat kebijakan, tapi juga dalam perilaku sehari-hari.
Ia mencontohkan perubahan gaya hidup pribadi dan keluarga yang lebih ramah lingkungan, seperti penggunaan eco-enzyme buatan sendiri sebagai pengganti deterjen, pengurangan plastik sekali pakai, dan lain sebagainya.
Baca juga: Izin Pinjam Pakai Hutan untuk Tambang Nikel di Pulau Kecil Wawonii Dicabut
Selain itu, berdasarkan data perhitungan jejak karbon oleh tim ahli yang disusun Kemenhut, lebih dari 60 persen berasal dari konsumsi listrik. Raja Juli mendorong kesadaran penghematan energi sebagai bagian dari budaya organisasi.
“Saya minta kepada seluruh staf, kalau saya tidak ada di ruangan, AC dan lampu harus dimatikan. Ini bukan soal mampu bayar listrik, tapi soal kesadaran bahwa listrik berarti karbon,” ujar dia.
Mengingat ada tradisi di kementerian, bahwa merasa tidak ada tanggung jawab untuk efisiensi penggunaan listrik karena listrik dibayar negara.
Discussion about this post