Sementara bajing berasal dari ordo Rodentia, famili Sciuridae, yang mencakup hewan pengerat kecil hingga sedang. Tidak seperti tupai yang omnivora, bajing bersifat herbivora, mengonsumsi kacang-kacangan, buah, dan biji-bijian.
“Bajing lebih mudah ditemukan di lingkungan yang dekat dengan manusia dan sering dianggap sebagai hama karena makanannya,” ujar dia.
Ia menyebutkan bahwa bajing memiliki ciri khas ekor panjang dan lebat yang melengkung ke atas, serta kepala bulat dengan pipi dan mata besar.
Baca juga: Sahil Jha, Bersepeda Sambil Mengampanyekan Penyelamatan Tanah di 20 Negara
Bajing juga hidup dalam kelompok dan aktif secara sosial, berbeda dari tupai yang cenderung menyendiri. Ukuran bajing pun bervariasi, dari jenis terkecil dengan panjang sekitar 10–14 cm hingga bajing besar seperti marmot yang beratnya bisa mencapai lebih dari 8 kilogram.
Melalui penjelasan ini, Maryati berharap masyarakat dapat lebih memahami dan membedakan antara tupai dan bajing. Jadi tidak salah kaprah dalam mengenali dan memperlakukan kedua spesies ini.
“Kita perlu memahami perbedaan ini, apalagi dalam konteks konservasi dan interaksi dengan satwa liar,” ucap dia.
Baca juga: Anak Muda Diajak Berwisata di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam
Sebagai informasi, penelitian PSSP IPB University telah berhasil mengembangkan kultur sel hati (hepatosit) Tupaia javanica sebagai model in vitro. Kultur sel ini terbukti mampu mendukung pertumbuhan virus hepatitis B yang berasal dari owa dan orangutan.
Dalam rangka pemanfaatan lebih lanjut dari kultur sel hepatosit tersebut, PSSP menjalin kerja sama penelitian dengan Mochtar Riady Institute of Nanotechnology untuk studi terkait virus hepatitis C pada manusia. Juga dengan Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) untuk penelitian virus hepatitis B pada manusia. [WLC02]
Sumber: IPB University
Discussion about this post