Keenam, dalam satu dekade terakhir, lebih dari 800 orang telah dikriminalisasi karena memperjuangkan lingkungan hidup. Dari jumlah itu, puluhan masyarakat dan perempuan pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan mengalami intimidasi dan kriminalisasi, sebagaimana dialami nelayan di Pulau Pari, Pulau Kodingareng, masyarakat pesisir Pasar Seluma dan masyarakat pesisir di Pulau Rempang.
Ketujuh, hingga kini negara belum kunjung mengakui identitas perempuan nelayan. Padahal di sejumlah wilayah di Indonesia, perempuan terlibat langsung menangkap ikan maupun biota laut lain. Dari total 56 juta orang yang terlibat dalam aktivitas perikanan (dari penangkapan hingga pemasaran), 39 juta di antaranya adalah perempuan.
Akibatnya, perempuan nelayan sulit untuk mengakses program dan pelatihan untuk nelayan, maupun mengakses skema bantuan sosial. Alih-alih memberikan pengakuan, kehidupan nelayan masih dilihat sebagai hal yang parsial, yakni sebatas menangkap ikan, dan menangkap ikan pun harus ada prosedur perizinan yang memberatkan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil.
Baca Juga: Aplikasi SIZE Nasional Bantu Mitigasi Penularan Penyakit Hewan kepada Manusia
Kedelapan, Bali sering dijadikan showcase bagi seluruh dunia atas komitmen Pemerintah dalam mengatasi permasalahan krisis iklim dan contoh keberhasilan seperti G20 dan KTT AIS. Namun Bali terus dihujani proyek-proyek investasi dan kerusakan lingkungan, seperti Reklamasi Teluk Benoa, Reklamasi Pelabuhan Benoa, Reklamasi Bandara Ngurah Rai, Tambang Pasir Laut, Pembangunan Terminal LNG Sidakarya, dan Pengembangan Pelabuhan Terintegrasi Sangsit yang mengancam ruang hidup masyarakat nelayan dan merusak ekosistem pesisir. Bahkan hari ini, mangrove yang digadang untuk dipertahankan sebagai komitmen dalam memitigasi perubahan iklim pun kian hari kian terancam keberadaannya.
Terbukti berbagai proyek yang dibangun telah mengancam kelestarian mangrove. Reklamasi Pelabuhan Benoa oleh Pelindo III Benoa seluas 800-an hektare pada 2018 telah membunuh 17 hektare mangrove. Dan kini, Pelindo kembali akan membabat hektaran mangrove untuk Proyek Jalan Penghubung Bali Maritime Tourism Hub. Pelindo yang notabene BUMN, justru tidak tahu malu ketika membuat proyek yang membabat mangrove. Padahal indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai ketua aliansi mangrove untuk perubahan iklim yang disampaikan saat COP 28 di Dubai.
Baca Juga: Tungku Smelter Nikel di Morowali Meledak, Aktivis: Audit, Evaluasi dan Proses Hukum
“Seharusnya perlindungan mangrove harus ditingkatkan. Bukan malah menjadi pembenaran untuk dibabat oleh proyek-proyek Pelindo Benoa,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Parid Ridwanuddin.
Berbagai persoalan tersebut bertentangan dengan narasi indah Pemerintah Indonesia tentang Indonesia Emas 2045. Narasi Indonesia Emas 2045 selalu dihiasi dengan wacana pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7 persen. Namun, masyarakat dan perempuan pesisir dalam simposium melihat kebijakan pemerintah tidak berjalan di atas rel konstitusi. Pemerintah terus mendorong kebijakan yang bercorak ekstraktif di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
“Situasi ini akan mendorong negeri ini menjadi Indonesia Cemas 2045 atau Indonesia Lemas 2045,” tukas Parid.
Baca Juga: Industri Ekstraktif Tak Usai, Pemerintah Justru Genjot Tambang Bawah Tanah
Atas dasar itu, 30 deklarator yang merupakan peserta simposium menyampaikan desakan kepada Pemerintah, DPR, serta Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2024-2029 dalam bentuk deklarasi yang mendesak Pemulihan Indonesia serta memprioritaskan keadilan iklim, sebagai berikut:
Pertama, mendesak Pemerintah, termasuk capres dan cawapres untuk mengevaluasi dan mencabut berbagai peraturan perundangan yang tidak melindungi masyarakat dan perempuan pesisir serta melindungi ekosistem pesisir, laut, dan pulau kecil. Di antara peraturan perundangan yang harus dievaluasi dan dicabut adalah UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, PP Penangkapan Ikan Terukur, dan PP Pengelolaan Sedimentasi di Laut.
Kedua, mendesak Pemerintah, termasuk capres dan cawapres untuk mengevaluasi dan mencabut beragam proyek pembangunan yang merampas ruang hidup masyarakat dan perempuan pesisir, terutama proyek pembangunan yang dipayungi oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) di seluruh wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil di Indonesia.
Baca Juga: Gunung Lewotobi Laki-laki Erupsi, Hujan Abu di Lima Desa
Ketiga, mendesak Pemerintah, termasuk capres dan cawapres untuk menjadikan agenda utama perlindungan masyarakat dan perempuan pesisir serta keadilan iklim dalam perencanaan tata ruang laut, dan pada saat yang sama mengevaluasi tata ruang laut yang terdapat dalam RZWP3K.
Keempat, mendesak Pemerintah untuk segera menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan sebagaimana diamanatkan oleh UU 7 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam.
Kelima, mendesak Pemerintah dan DPR, termasuk capres dan cawapres untuk segera memasukkan RUU Keadilan Iklim menjadi agenda utama untuk disahkan. Sekaligus mendukung upaya-upaya masyarakat untuk memulihkan ekosistem pesisir, laut, dan pulau kecil dari dampak krisis iklim yang semakin parah.
Keenam, mendesak dan memastikan perlindungan masyarakat dan perempuan, kedaulatan pangan di pesisir, laut, dan pulau kecil serta keadilan iklim masuk ke dalam RPJPN 2025-2045 serta RPJMN 2025-2029.
Ketujuh, memastikan perlindungan bagi para pejuang lingkungan, khususnya nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil, serta perempuan nelayan, dari ancaman kriminalisasi karena selama ini telah terbukti menjaga pesisir, laut, dan pulau kecil. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post