Wanaloka.com – Di Provinsi Jambi terdapat 18 izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan total luasan 686.662,42 hektare, 14 izin berstatus aktif, dan 4 lainnya tidak aktif. Namun izin-izin konsesi tersebut menyimpan persoalan terkait konflik penguasaan lahan, kerusakan ekosistem, dan sumber daya alam (SDA), dan pola kemitraan yang tidak adil bagi masyarakat. Salah satunya diduga dilakukan PT. Lestari Asri Jaya (LAJ). Demikian pernyataan bersama yang diterima Wanaloka.com, 25 Oktober 2022 dari lembaga-lembaga peduli lingkungan yang mengatasnamakan Organisasi Masyarakat Sipil.
Apakah PT LAJ itu? Ini adalah perusahaan karet alam berkelanjutan. PT LAJ sendiri merupakan anak perusahaan PT Royal Lestari Utama (RLU) yang dimiliki Michelin Group, sebuah perusahaan ban dunia.
Kepemilikan Michelin atas PT RLU berawal sejak perusahaan ban raksasa itu mengadopsi kebijakan NDPE pada 2015. Kemudian berinvestasi dan menggandeng Barito Pacific Group untuk membangun perkebunan dan pengolahan karet alam ‘berkelanjutan’ PT. Royal Lestari Utama (RLU) dengan kepemilikan 51 persen oleh Barito Pacific Group dan 49 persen oleh Michelin. Pada Juni 2022, Michelin membeli sisa saham yang dimiliki oleh Barito Pacific Group, sehingga Michelin adalah pemilik utama RLU 1 .
Baca Juga: Banjir di Kotawaringin Barat Ribuan Warga Mengungsi, Masa Tanggap Darurat Diperpanjang
Lantas seperti apakah konflik penguasaan lahan oleh PT LAJ?
PT. LAJ memiliki izin konsesi seluas 61.495 hektare di Jambi. Atas nama izin konsesi, pihak perusahaan dinilai melakukan penggusuran kebun-kebun masyarakat Desa Pemayungan, Jambi sehingga tanaman-tanaman rusak. Perusahaan juga diduga melakukan intimidasi dan kriminalisasi dengan melaporkan masyarakat kepada polisi. Dan polisi pun mengirimkan surat pemanggilan kepada masyarakat dengan alasan wawancara.
Tindakan-tindakan itu dilakukan agar masyarakat menyerahkan lahan yang dikelola. Padahal aktivitas pertanian masyarakat di sana telah ada jauh sebelum perusahaan hadir. Konflik dipicu karena ketimpangan penguasaan ruang kelola, tertutupnya data dan dokumen terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA), pelanggaran prosedur dan lemahnya penegakan hukum, serta tidak adanya pelibatan masyarakat.
Baca Juga: Beruntun, Enam Warga Tewas Tertimbun Longsor
Tindakan polisi dan perusahaan dinilai sebuah pelanggaran terhadap jaminan atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang dijamin Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Ada dugaan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Pemayungan.
Upaya pembukaan lahan secara masif, berskala besar, dan kebijakan perusahaan yang membuat Wildlife Conservation Area (WCA) atau Wilayah Cinta Alam di sekitar kebun masyarakat, juga menimbulkan konflik antara petani dan satwa liar gajah sumatera. Tiap pagi, masyarakat harus berhadapan dengan penggusuran oleh perusahaan. Malam hari, masyarakat harus berjibaku menghalau masuknya kelompok gajah ke kebun mereka.
Kondisi ini menunjukkan ketimpangan tata kelola pemerintah dan buruknya tata kelola perusahaan di lapangan yang tidak menghormati hak-hak masyarakat.
Discussion about this post