Baca Juga: Nelayan Kumpulkan 171,78 Ton Sampah Laut Sejak Juli-Agustus 2023
Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Zainal Arifin: “Hutan tanaman energi dan co-firing biomassa dalam transisi energi tidak hanya merupakan solusi palsu, tapi juga program manipulatif yang berpotensi memperpanjang pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya di tapak-tapak PLTU dan juga di tapak-tapak masyarakat yang sedang berjuang di kawasan hutan. Teknologi co-firing yang digadang-gadang sebagai energi bersih telah mengingkari semangat zaman, dimana seluruh negara dan dunia hari ini menyerukan penutupan terhadap pembangkit energi kotor. Namun keberadaan co-firing biomassa justru akan memperpanjang usia PLTU yang seharusnya dipensiunkan atau ditutup. Artinya, masyarakat di tapak PLTU harus memperpanjang perlawanannya karena menghirup udara kotor dan untuk mendapatkan lingkungan yang baik, dan sehat. Di sisi lain, co-firing biomassa yang membutuhkan lahan untuk HTE juga akan memperpanjang konflik agraria di sektor kehutanan.”
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin: “Jika pemerintah tidak segera menarik kembali skema co-firing biomassa di PLTU, maka akan menimbulkan kepiluan bagi lingkungan serta masyarakat di tapak. Berdasarkan pengakuan masyarakat yang selama ini hidup di hilir, di sekitar PLTU, tempat kualitas udara semakin buruk dengan penerapan skema co-firing biomassa. Mereka juga mengalami gangguan kesehatan yang semakin serius. Klaim pemerintah bahwa co-firing akan menurunkan suhu global hanyalah akal-akalan belaka. Faktanya, di hilir dan di hulu, ia memberi kontribusi kuat pada perubahan iklim.”
Direktur Eksekutif Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai Lubis: “Pemberian izin HTE di Mentawai pantas dicurigai sebagai kedok untuk melegitimasi deforestasi. Lahan-lahan yang izinnya dimohonkan adalah lahan dengan potensi kayu yang sangat banyak. Pemberian izin dilakukan tanpa menimbang risiko yang ditanggung masyarakat, karena dalam RTRW Mentawai, wilayah yang diberi izin tersebut adalah wilayah dengan risiko tinggi dan sedang bencana banjir.”
Baca Juga: Ini 7 Waduk Target Proyek PLTS Terapung Hingga 2030
Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Saiful Wathoni: “HTE, seperti halnya HTI, akan semakin banyak merampas tanah dan ruang hidup rakyat. Masalah energi terbarukan bukanlah soal bentuk energinya saja, tetapi juga untuk apa dan siapa energi itu digunakan. Di NTB misalnya, banyak PLTU dan hutan energi dibangun seiring dengan kebutuhan pariwisata, tapi bukan untuk kehidupan sehari-hari masyarakat. Seharusnya, masyarakat dilibatkan dan didengarkan kebutuhannya, dan dijadikan faktor utama dalam menentukan pembangunan energi.”
Apa legitimasi pemerintah menerapkan co-firing biomassa?
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Strategi Percepatan Penerapan Energi Transisi dan Pengembangan Infrastruktur Energi Potensi, Ego Syahrial menyatakan potensi bioenergi Indonesia sangat besar menjadi sumber energi masa depan. Setara dengan 56,97 GW listrik.
Bioenergi dapat menggantikan energi fosil di hampir semua bidang, seperti transportasi, ketenagalistrikan, industri, dan rumah tangga. Pemanfaatan bionergi, terutama produk biomassa dapat menjadi sumber energi yang lebih baik untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dan diproyeksikan dapat membantu meningkatkan ketahanan energi nasional. Pada tahun 2060, Indonesia akan membangun lebih dari 700 GW pembangkit energi terbarukan, dimana 60 GW berasal dari pembangkit listrik bioenergy.
Baca Juga: Festival Panen Kopi Gayo 2023 Wadah Petani Bagi Ilmu Ketahanan Pangan
Ego menambahkan, selain untuk pembangkit listrik, biomassa juga akan dioptimalkan melalui program co-firing biomassa untuk Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (Coal Fired Power Plant/CFPP) yang sudah ada. Penerapan co-firing telah dilakukan sejak tahun 2020 dengan blending rate 1 persen hingga 15 persen, tergantung jenis boiler serta ketersediaan bahan baku.
“Biomass-cofiring akan diterapkan pada 113 unit PLTU milik PLN di 52 lokasi dengan total kapasitas 18.664 MW, menggunakan berbagai sumber biomassa seperti serbuk gergaji, serpihan kayu, limbah sawit dengan tingkat pencampuran 5-15 persen,” jelas Ego dalam acara Heatech Indonesia di Jakarta International Expo pada 5 Oktober 2023.
Tujuan pembakaran bersama biomassa pada PLTU adalah untuk memenuhi keekonomian penyediaan tenaga listrik, meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi nasional, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan ‘menghijaukan’ PLTU lebih cepat.
Baca Juga: PLTS Terapung Cirata Pasok Energi Bersih Sistem Kelistrikan untuk Jawa dan Bali
“Tahun 2023, co-firing akan diapikasikan di 42 lokasi. Proyek ini dapat menghasilkan 2.740 GWh energi ramah lingkungan dan mengonsumsi 2,2 juta ton biomassa,” terang Ego.
Hingga semester pertama 2023, co-firing telah diterapkan di 36 lokasi dan menghasilkan energi hijau sebesar 325 GWh, yang mengurangi emisi sebesar 321 ktCO2. Total biomassa yang digunakan pada pembangkit listrik tersebut adalah 306 kilo ton. Dan untuk mendukung pengembangan cofiring, Kementerian ESDM tengah menyelesaikan peraturan menteri tentang penerapan co-firing pada PLTU yang sudah ada. [WLC02]
Sumber: YLBHI, Kementerian ESDM
Discussion about this post