Wanaloka.com – Jendela sisi kiri sebuah mobil terbuka. Muncul sosok berhidung dan bermata hitam, berkumis putih yang menyeruak seperti kucing. Imut dan lucu. Membuat sejumlah pengendara yang berhenti di sampingnya terkejut dan tersenyum.
Begitulah tayangan video pendek tentang hewan di air dan darat itu berseliweran dan viral di medsos. Backsound potongan lagu “Kita Bikin Romantis”nya Maliq & D’Essentials bikin salah tingkah. Itulah otter atau yang sering disebut berang-berang, hewan yang termasuk dalam kelompok mamalia semi-akuatik yang hidup sekitar aliran sungai atau rawa. Secara taksonomi, terdapat dua kelompok berang-berang yang berbeda.
Pertama, otter dari ordo karnivora. Mamalia ini bergantung pada konsumsi daging sebagai sumber utama nutrisi.
Kedua, beaver dari ordo rodentia sebagai herbivora dengan pola makan berbasis tumbuhan. Namun, tidak ada populasi beaver yang memiliki habitat di Indonesia.
Baca juga: Agar Operasi Modifikasi Cuaca Tak Berdampak Buruk di Wilayah Lain
Sementara otter di Indonesia berhabitat alami di tepi aliran air sebagai hewan semi akuatik. Mereka akan mencari makan ikan, crustacea, udang, maupun kepiting.
Populasi terus menyusut
Di Indonesia terdapat empat jenis otter. Namun hanya ada satu jenis tanpa status dilindungi oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 tahun 2018. Jenis yang tidak dilindungi itu adalah berang-berang cakar kecil (Aonyx cinereus).
Sementara populasi spesies tersebut mengalami penurunan akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Bahkan kini telah masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Baca juga: Kesiapan Lahan dan Pengelolaan Sampah oleh Pemda Kunci Pengendalian Banjir Jabodetabek
Sedangkan perdagangan hewan eksotik di Indonesia bukanlah 100 persen hasil budidaya. Mayoritas penjual mendapatkan hewan tersebut dari alam.
“Jangan sampai terjadi eksploitasi untuk hobi yang tidak bertanggung jawab,” kata Dosen Satwa Liar Kedokteran Hewan FIKKIA Universitas Airlangga, Aditya Yudhana.
Bernaluri liar
Dengan asumsi tersebut, tangkapan otter dewasa langsung dari alam tentu tidak dapat jinak secara menyeluruh. Naluri liar masih dominan memunculkan serangan berupa cakaran maupun gigitan. Risiko transmisi zoonosis akibat penjualan tanpa melakukan skrining status kesehatan hewan dapat terjadi. Berupa potensi rabies, bakteri, parasit, dan fungi.
Baca juga: BNPB Pastikan Kebutuhan Dasar Warga Terdampak Banjir Jabodetabek Terpenuhi
“Jika otter berasal habitat alami dan sudah dewasa, maka tidak dapat jinak sepenuhnya. Berbeda dengan hasil dari penangkaran ek-situ yang mungkin menurunkan sifat liar menjadi jinak,” tutur dia.
Aditya menyebut masyarakat perlu mengetahui pola hidup otter yang terbiasa hidup mengeksplorasi alam. Jangan sampai membuat hewan stres yang berujung membahayakan pemilik karena ketidaktahuan akan jenis zoonosis yang akan muncul jika hewan liar tersebut sakit. Stres juga akan meningkatkan emosional hewan.
Discussion about this post