Baca Juga: 217 Gempa Tektonik dan 9 Gunung Meletus Sepanjang 2022
Ia juga tak tidak bisa menangkap ikan, karena harus membersihkan desa. Akibatnya, juga kehilangan penghasilan dari melaut sekitar Rp1,75 juta.
Edi dan Mustaghfirin sangat prihatin dengan banjir yang terjadi selama ini. Ke depan, banjir akan semakin sering terjadi seiring dengan dampak krisis iklim yang buruk.
“Fakta bahwa rumah-rumah kebanjiran dan anak-anak kecil terdampak banjir pada November dan Desember 2021 membuat kami sangat marah. Kami mengkhawatirkan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Pulau Pari,″ seru mereka.
Baca Juga: Sumber Gempa Garut Magnitudo 4,3 yang Guncangannya hingga IV MMI
Mengapa Menggugat Holcim?
Holcim adalah industri semen terbesar di dunia. Perusahaan tersebut merupakan industri terbesar untuk bahan dasar beton. Juga salah satu dari 50 penghasil emisi CO2 terbesar dari semua perusahaan di seluruh dunia. Dalam memproduksi semen, Holcim telah melepaskan CO2 dalam jumlah yang sangat besar.
Berdasarkan studi antara tahun 1950 dan 2021, perusahaan ini telah melepaskan lebih dari 7 miliar ton CO2. Setara 0,42 persen dari semua emisi CO2 industri global sejak 1750 – atau dua kali lipat lebih dari semua CO2 yang dikeluarkan Swiss selama periode waktu yang sama. Dengan demikian, Holcim memikul tanggung jawab yang signifikan atas krisis iklim dan situasi di Pulau Pari.
Gugatan iklim terhadap Holcim merupakan kelanjutan dari gugatan iklim global yang ketiga. Sebelumnya telah dilayangkan gugatan terhadap Shell di Belanda yang dilakukan oleh Friend of The Earth (FoE) Belanda dan gugatan Petani Peru terhadap RWE, sebuah perusahaan batubara Jerman.
Baca Juga: Gempa Cianjur Masih Terjadi, BNPB Tegaskan Pendataan Dilakukan Lagi
“Gugatan iklim oleh masyarakat Pulau Pari terhadap Holcim adalah ketiga di dunia, kedua di global south, dan pertama di Indonesia,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin.
Gugatan iklim masyarakat Pulau Pari merupakan gebrakan penting di Indonesia dan dunia untuk membangun kesadaran masyarakat global mengenai dampak buruk krisis iklim di global south.
“Gugatan ini mewakili nasib puluhan juta orang di Indonesia yang terdampak krisis iklim. Walhi mengajak pemerintah Indonesia dan seluruh masyarakat yang terdampak krisis iklim, khususnya yang tinggal di pulau-pulau kecil, untuk mendukung gugatan ini dan menjadi bagian penting untuk menuntut keadilan iklim,” tegas Parid.
Baca Juga: Banjir di Sambas Puluhan Ribu Warga Terdampak, Waspadai Dampak Cuaca hingga 3 Februari 2023
Empat penggugat menuntut ganti rugi yang proporsional atas krisis iklim yang mereka alami agar Holcim berkontribusi untuk mencegah banjir. Mereka juga menuntut agar Holcim mengurangi emisi CO2 sebesar 43 persen pada 2030 dan sebesar 69 persen pada 2040 apabila dibandingkan emisi perusahaan pada 2019. Tuntutan itu sejalan target yang ditetapkan dalam Perjanjian Iklim Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat.
Pulau Kecil yang Tenggelam Terancam Bertambah
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Fitriah Tanjung menyebut sebanyak enam pulau kecil berukuran kurang dari 3 hektare di Kabupaten Kepulauan Seribu telah tenggelam akibat krisis iklim. Saat ini, 23 pulau sedang terancam tenggelam, salah satunya adalah Pulau Tikus yang masih berada dalam gugusan Pulau Pari. Jika krisis iklim terus berlanjut, maka semakin banyak pulau kecil tenggelam, termasuk Pulau Pari yang dihuni sekitar seribu jiwa.
Baca Juga: Inovasi Anita Atasi Krisis Air Bersih dengan Air Laut dan Kabut Laut
Sejumlah pulau-pulau yang telah tenggelam adalah Pulau Ubi Besar, Pulau Ubi Kecil, Pulau Talak, Pulau Nyamuk Besar, Pulau Dakun, dan Pulau Ayer Kecil. Dari enam pulau tersebut, Pulau Ubi Besar adalah satu-satunya yang berpenghuni dan pernah terdapat catatan eksodus masyarakat Pulau Ubi Besar ke Pulau Untung Jawa sekitar dekade 60-an.
″Pemerintah harus segera bertindak untuk mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil lain di Kepulauan Seribu,” kata Suci. [WLC02]
Sumber: Walhi Nasional, Call for Climate Justice
Discussion about this post